Tuesday, July 7, 2015

Mencegah Stigma Tanggung Jawab Kita Bersama!



Stigma adalah suatu proses dinamis yang terbangun dari suatu persepsi yang telah ada sebelumnya yang menimbulkan suatu pelanggaran terhadap sikap, kepercayaan, dan nilai. Stigma dapat mendorong seseorang untuk mempunyai prasangka pemikiran, perilaku, dan atau tindakan oleh pihak pemerintah, masyarakat, pemberi kerja, penyedia pelayanan kesehatan, teman sekerja, para teman, dan keluarga-keluarga (Castro dan Farmer, 2010).
No Stigma!


Goffman (1963) membuat konsep tentang stigma yaitu suatu atribut yang mendiskreditkan secara signifikan. Goffman juga mengemukakan istilah stigma merujuk pada keadaan suatu kelompok sosial yang membuat identitas terhadap seseorang atau kelompok berdasarkan sifat fisik, perilaku, ataupun sosial yang dipersepsikan menyimpang dari norma-norma dalam komunitas tersebut.

Herek dan Glunt (1991) sebagaimana dikutip Waluyo et al. (2006) meneliti tentang opini masyarakat Amerika tentang HIV-AIDS yang ternyata cukup mengejutkan hasilnya, dimana sebagian besar memandang penderita HIV-AIDS harus dikucilkan dan diintimidasi agar dapat dipisahkan dari kehidupan “normal”. Kelompok yang diteliti ini juga mempersalahkan mereka yeng menderita HIV-AIDS, mengapa mereka sampai tertular HIV-AIDS.

Tindakan menstigma atau stigmatisasi terjadi melalui beberapa proses yang berbeda-beda seperti:

  1. Stigma aktual (actual) atau stigma yang dialami (experienced) terjadi jika ada orang atau masyarakat yang melakukan tindakan nyata, baik verbal maupun non verbal yang menyebabkan orang lain dibedakan dan disingkirkan.
  2. Stigma potensial atau yang dirasakan (felt) terjadi jika tindakan stigma belum terjadi tetapi ada tanda atau perasaan tidak nyaman. Sehingga orang cenderung tidak mengakses layanan kesehatan.
  3. Stigma internal atau stigmatisasi diri adalah seseorang yang menghakimi dirinya sendiri sebagai “tidak berhak” atau “tidak disukai masyarakat”. Hal ini diperkuat oleh Ahwan (2014) yang menyatakan bentuk lain dari stigma yang berkembang melalui internalisasi oleh ODHA dengan persepsi negatif tentang diri mereka sendiri. Hal ini dikenal dengan stigma diri sendiri atau self stigmatization. Waluyo et al. (2006) juga menyatakan adanya pengaruh pemahaman dan kepercayaan seseorang terhadap terjadinya stigma pada dirinya sendiri  akibat proses gabungan antara proses psikologis dan budaya yang berkembang
Adapun faktor-faktor yang dapat mempengaruhi stigma terhadap orang dengan HIV-AIDS:

  1. Pendapat bahwa HIV-AIDS adalah penyakit mematikan
  2. Pendapat bahwa HIV-AIDS adalah penyakit karena perbuatan melanggar susila, kotor, tidak bertanggung jawab
  3. Pendapat bahwa orang dengan HIV-AIDS pasti dengan sengaja menularkan penyakitnya
  4. Kurangnya pengetahuan yang benar tentang cara penularan HIV. Waluyo et al. (2006) menarik kesimpulan dalam penelitiannya bahwa ketidaktahuan pasien, keluarga, dan orang-orang di sekitar pasien HIV-AIDS, membuat tes HIV yang harus secara dini dilakukan oleh pasien maupun orang-orang di sekitar pasien yang beresiko, tidak dapat dilakukan dengan segera. Deteksi dini pada orang beresiko HIV-AIDS tidak dapat dilakukan dan dapat berdampak pada tidak optimalnya terapi ARV yang diberikan pada pasien HIV-AIDS. Karena semakin dini deteksi dilakukan maka akan semakin baik hasil yang didapatkan pada terapi ARV pasien HIV-AIDS.
Stigma harus kita cegah bersama karena dapat menyebabkan diskriminasi yang selanjutnya akan mengakibatkan:

  1. Isolasi 
  2. Hilangnya pendapatan atau mata pencaharian
  3. Penyangkalan atau pembatasan akses pada layanan kesehatan
  4. Kekerasan fisik dan emosional
Selain itu, dengan mencegah stigma, ada banyak hal yang bisa kita capai bersama, antara lain kita dapat:

  1. Memperkuat respon efektif untuk mengatasi HIV-AIDS
  2. Mendorong pengembangan dan rasa percaya diri yang kuat pada ODHA.
  3. Menciptakan role model positif dan memahami upaya anti stigma dan diskriminasi lebih jauh.
  4. Memperkuat ikatan ODHA, keluarga mereka dan komunitas untuk bersama
Untuk mengatasi stigma, kita dapat memainkan peran untuk mengedukasi pihak lain, menyuarakan dan menunjukkan sikap dan perilaku baru. Beberapa langkah praktis yang dapat dilakukan untuk menghadapi stigma dan diskriminasi adalah sebagai berikut:

  1. Jadilah contoh yang baik, caranya ialah dengan menerapkan pengetahuan yang sudah kita miliki. Salah satu sumber pengetahuan yang wajib menjadi acuan adalah yang berasal dari Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN). Dengan pengetahuan yang baik akan berbagai fakta yang ada, kita mulai bisa memikirkan kata-kata yang kita gunakan sehari-hari dan bagaimana cara kita berperilaku terhadap ODHA selama ini. Kemudian, coba pikirkan apa yang bisa kita buat berbeda dari cara pikir dan tindakan kita selama ini. 
  2. Berbagi dengan orang lain, caranya sama dengan di atas. Fakta-fakta yang sudah kita ketahui kita bagikan ke orang lain dengan mengajak mereka berdiskusi tentang stigma dan bagaimana cara-cara yang tepat untuk mengubahnya.
  3. Mengatasi masalah stigma ketika kita melihatnya terjadi di rumah, kantor, maupun di masyarakat dengan cara berbicara tentang apa masalahnya dan buat orang lain paham bahwa stigma itu melukai.
  4. Lawan stigma melalui kelompok. Dalam kelompok kita bisa menyampaikan situasi tentang stigma yang ada di lingkungan kita. Lewat kelompok suara kita akan lebih didengar karena bersuara bersama-sama tentu lebih besar dampaknya daripada suara individu.
  5. Tidak cukup hanya mengatakan bahwa stigma itu “buruk” atau “salah” namun lebih baik jika langsung bertindak untuk melakukan perubahan. 
  6. Berpikir besar, mulai dari yang kecil, dan bertindak sekarang.
Studi yang dilakukan oleh Herek dan Capitano (1993) sebagaimana dikutip Waluyo et al. (2006) menunjukkan bahwa pemberian informasi saja tidaklah cukup untuk meminimalkan stigma yang terjadi di masyarakat. Selain memberikan informasi yang lengkap dan benar, untuk melengkapi langkah di atas, kita dapat pula melakukan hal-hal ini supaya masyarakat mulai membicarakan dan mulai bertindak untuk melawan stigma:

  1. Testimoni oleh ODHA maupun keluarganya mengenai pengalaman mereka hidup dengan HIV atau hidup dengan orang yang positif HIV. 
  2. Pengawasan bahasa (language watch). Lakukan “survey mendengarkan” untuk mengidentifikasi kata-kata yang menstigma yang sering digunakan di masyarakat (di media maupun di lagu-lagu yang populer)
  3. Community mapping mengenai stigma untuk mengidentifikasi titik-titik stigma di masyarakat dengan menunjukkan peta wilayah komunitas dalam pertemuan. 
  4. Community walk, berupa ajakan untuk mengambil langkah untuk mengurangi stigma yang berlangsung di masyarakat setelah proses community mapping.
  5. Pertunjukan drama berdasarkan kisah nyata pada berbagai kesempatan. 
  6. Pameran gambar sebagai sarana untuk memulai diskusi mengenai stigma.

Untuk melakukan langkah-langkah di atas tentu kita bertanya-tanya. Adakah pedoman yang bisa digunakan? Adakah sumber referensi yang dapat dipercaya? Untuk mudahnya kunjungi saja laman Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN). Komisi ini secara teratur menyelenggarakan berbagai even yang bertujuan menyebarkan informasi yang lengkap dan benar tentang penangulangan HIV-AIDS di Indonesia. Salah satu even terdekat yang akan dilakukan adalah Pertemuan Nasional AIDS V (Pernas AIDS V) yang akan berlangsung bulan Oktober nanti. Pertemuan ini menjadi ajang pembelajaran dan saling berbagi antar lembaga atau individu yang terlibat dalam penanggulangan HIV-AIDS di Indonesia.

Jadi? Mari kita mulai pencegahan stigma untuk penanggulangan HIV-AIDS yang lebih baik. Mulai dari keluarga, komunitas, dan masyarakat yang lebih luas. Mulai dari melakukan hal kecil hingga perlahan bergerak untuk melakukan hal yang lebih besar. Niscaya ke depannya dengan partisipasi kita, program penanggulangan HIV-AIDS akan lebih baik.


Rujukan:

Buku Pedoman Penghapusan Stigma dan Diskriminasi Bagi Pengelola Program, Petugas Layanan Kesehatan, dan Kader. Kementerian Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, Direktorat Pengendalian Penyakit Menular Langsung. 2012.

Persepsi Pasien Dengan HIV/ AIDS dan Keluarganya Tentang HIV/ AIDS dan Stigma Masyarakat terhadap Pasien HIV/ AIDS. Waluyo A., Nurachmah E., Rosakawati. Jurnal Keperawatan Indonesia Vol. 10 No.2 September 2006; hal 61-69. 

Stigma dan Diskriminasi HIV & AIDS pada Orang dengan HIV dan AIDS (ODHA) di masyarakat basis anggota Nahdlatul Ulama (NU) Bangil – Studi kajian peran strategis Faith Based Organization (FBO) dalam isu HIV. Zainul A. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Yudharta Pasuruan. 2014.

No comments: