Monday, November 19, 2012

Jaringan "Orang Hilang”


-sebuah refleksi tentang berjejaring di Pegunungan Tengah Papua-

Suatu kali saya tersentak mendengar sebuak acara dialog interaktif di sebuah stasiun radio milik pemerintah di Wamena. Kenapa tersentak? Begini ceritanya, dalam dialog interaktif tersebut ada seorang narasumber lokal yang menerangkan bagaimana HIV dapat menular dari satu orang ke orang yang lain, pertama-tama saya ikuti - narasumber lokal tersebut berbicara dengan bahasa Indonesia yang sedikit dipaksakan – semua penjelasannya masuk akal. Dari mulai penularan melalui ibu ke bayi (walaupun tidak terlalu detail) hingga transfusi darah. Yang membuat saya tersentak adalah pernyataan narasumber tersebut ketika berbicara mengenai nyamuk. Dengan terang-terangan narasumber tersebut mengatakan bahwa nyamuk juga menularkan HIV! Wow!

Sumber: Wikipedia
Segera setelah itu terlintaslah ide dalam diri saya untuk paling tidak menyamakan persepsi beberapa lembaga yang bekerja di bidang penanggulangan HIV dan AIDS di Jayawijaya. Bukan berarti merasa hebat atau paling jago, tapi paling tidak persepsi dasar yang sama harus dimiliki oleh semua lembaga yang bergerak di bidang penaggulangan HIV dan AIDS. Saya kemudian bergerak, mencoba menghubungi beberapa teman termasuk Komisi Penanggulangan AIDS Daerah. Ternyata gayung bersambut! Kamipun berencana melakukan pertemuan menyamakan persepsi ini namun dibungkus dengan tema Candlelight Memorial pada waktu itu.

Surat-surat undangan mulai diketik, dari KPAD memberikan beberapa nama tokoh kunci dari berbagai LSM yang ada di Jayawijaya. Tidak hanya itu, himbauan dalam bentuk ajakan untuk berpartisipasi dalam acara Candlelight bersama juga disiarkan di satu radio pemerintah dan satu radio swasta. Beberapa LSM menyatakan oke untuk bergabung, LSM yang lain tidak memberi jawaban sama sekali. Yang paling lucu, ada surat yang diantarkan ke sebuah LSM tapi ternyata tidak ada orang sama sekali. Yang ada hanya tukang sapu. Ketika ditanyakan, tukang sapu hanya mengernyitkan dahi dan mengangkat bahu. Hmm........................

Lepas dari kesediaan teman-teman LSM untuk menyamakan persepsi, KPAD sebagai kordinator justru mengalami banyak masalah internal. Masalah yang paling dasar adalah ketersediaan dana dan kesulitan dalam mengorganisir sekian banyak lembaga dan atau institusi yang ada di Jayawijaya. Padahal jika dilakukan pemetaan banyak sekali sumber daya yang ada di Jayawijaya ini. Misalnya, sudah ada lembaga khusus yang melakukan pendampingan kepada ODHA. Ada lembaga atau LSM yang khusus mengurus penyebaran informasi kepada kelompok perilaku resiko tinggi. Ada juga LSM yang khusus bermain di media baik itu lewat media radio maupun dalam bentuk Iklan Layanan Masyarakat (ILM) di media cetak. Kalau kordinasinya baik tentunya baik itu penyebaran informasi, pendampingan, dan hal-hal lain bisa dilakukan bersama-sama. Sharing resources bisa terjadi di antara LSM. Misalnya, ketika LSM A selesai melakukan bagiannya dalam bentuk penyebaran informasi kemudian ada yang bertanya kemana harus periksa dan siapa yang bisa mendampingi, maka LSM A tinggal menghubungi LSM B yang punya spesialisasi di pendampingan. Namun sayang kenyataannya tidak begitu. Masing-masing LSM sepertinya sibuk menjaring orang-orangnya atau bahasa kerennya itu beneficiaries atau penerima manfaat. Malah kalau mendengar cerita di Merauke ada LSM yang menolak ODHA dalam lingkup mereka diberikan pengetahuan tentang pengembangan ekonomi oleh LSM lain. “Ngga bisa ini ODHA kami...”. Nah lu! Untungnya di Jayawijaya belum seperti ini (atau mungkin sudah tapi saya tidak tahu...)

Ada lagi cerita yang ironis tentang LSM di Jayawijaya. Ada LSM lokal yang mengganti nama hanya untuk mendapatkan dana. Ini menarik karena ternyata uang untuk program HIV & AIDS ini sangat banyak sehingga harus dibagi-bagikan ke berbagai institusi. Bahasa kerennya bermitra. Lha mitranya ganti nama doang kok masih dikasih dana ya? Tapi pengalaman saya bekerja dengan LSM lokal ini ternyata baik-baik saja. Walaupun ada beberapa materi yang saya tulis dalam bentuk power point secara terang-terangan diterjemahkan ke bahasa lokal dan dipakai tanpa menyebutkan nara sumbernya, saya tidak pernah protes. Hanya senyum saja dan berkata “nggak apa-apa Pak, pakai saja..” ke pimpinannya ketika akhirnya ketahuan dan mereka datang minta maaf.

Tibalah saatnya hari H yaitu saatnya berkumpul dan berseminar tentang berbagai update di bidang penanggulangan HIV & AIDS. Ketua harian KPAD sudah tiba dan duduk di barisan depan. Hati mulai cemas karena peserta dari LSM lain belum ada yang datang. Hanya beberapa tokoh agama yang sengaja kita undang untuk dapat sedikit pencerahan dan bisa membagikan ke jemaatnya. Ternyata setelah satu jam menunggu, tidak satupun dari LSM lain yang datang. Ada yang sms: “kebetulan hari ini kami rapat bulanan...” Wah, dengan wajah sedikit dipaksakan senyum ketua harian membuka acara pertemuan. Penyamaan persepsi tinggallah mimpi yang belum bisa diwujud-nyatakan. Yang ada akhirnya hanya penyampaian informasi satu arah. Tokoh agama pun manggut-manggut. Mereka ternyata sangat antusias. Sebagian bilang: “Acara begini ini boleh...karena selama ini kami kurang pemahaman jadi...” (logat Papua)

Rasa sedikit kesal datang juga pada diri saya, sebenarnya apa yang salah ya? Saya pun berusaha melakukan introspeksi dengan team. Mungkin sebaiknya lain kali jangan kita yang mengundang, karena kesannya kita menggurui LSM lain. Begitu kata salah satu staf saya. Saya setuju dengan pendapatnya itu. Arogansi sepertinya memang menjadi masalah di sini. Saya tiba-tiba termenung saat itu dan mencoba flash back ketika pernah mau mencoba membuat modul pelatihan anak-anak sekolah dan ketika ternyata sudah ada beberapa modul dari organisasi lain termasuk UNICEF saya pun memutuskan untuk memakai apa yang sudah ada ketimbang harus buat baru.

Memang sulit kalau arogansi dipertahankan. Bikin pertemuan untuk menyamakan persepsi saja sulitnya minta ampun. Sampai kadang-kadang saya berpikir sendiri, kalau memang semua LSM sibuk. Semuanya menyatakan bekerja dengan baik kenapa ngga ada perubahan ya? Kenapa masih ada orang-orang yang salah persepsi memberikan informasi? Tidak hanya orang awam tapi juga komentar para pejabat di lingkungan kabupaten juga kadang mispersepsi. Apa jadinya ya ke depan nanti? Informasi dasar saja masih sering salah persepsi, bagaimana dengan informasi mengenai pengobatan yang jauh lebih complicated dalam menerangkannya. Jangan-jangan jaringan yang ada selama ini hanya menjadi jaringan orang hilang yang hanya tinggal nama saja tapi orang-orangnya tidak ada dengan alasan sibuk sana-sini ketika dicari dan dibutuhkan.

Setiap LSM yang bergerak di bidang HIV dan AIDS setidaknya harus peduli dan mengedepankan tujuan dan bukan organisasi. Yang harus dilakukan adalah berjejaring dengan sesama LSM bukannya menjaring target atas nama beneficiaries. Kerendahan hati untuk mengakui LSM lain yang memang lebih pakar di bidangnya dan mau bekerjasama haruslah ditumbuhkan. Lagipula menurut saya lembaga donor justru akan lebih senang kalau dengan budget yang sedikit bisa mencapai hasil yang lebih besar. Hasil yang lebih besar bagaimana? Kalau ada keterbukaan mengenai target, kalau semua dilakukan bersama-sama untuk mencapai target itu dan bukan dilakukan masing-masing.

Akhirnya, sebelum saya menutup tulisan ini. Ijinkanlah saya menjelaskan sedikit kenapa nyamuk tidak menularkan HIV. Pertama, nyamuk hanya mengisap darah, tidak pernah mengeluarkannya. Kedua, kalau nyamuk menghisap darah tentunya langsung masuk ke lambung nyamuk dimana suasananya adalah asam. Ingat, HIV tidak suka berada dalam suasana asam. Virus tersebut langsung mati dengan suasana asam atau basa yang significant. Ketiga, kalau memang nyamuk bisa menularkan HIV tentunya populasi orang dengan HIV akan sama jumlahnya untuk semua umur karena nyamuk menggigit semua usia toh? Dia ngga pilih-pilih menghisap darah anak-anak atau dewasa saja. Sedangkan nyata-nyata untuk kasus infeksi HIV lebih banyak terdapat pada usia kerja atau reproduksi aktif.

Sebenarnya ceritanya belum selesai. Ketika saya selesai menjelaskan kepada tokoh-tokoh agama mengapa nyamuk tidak menularkan HIV, saya mengajukan satu pertanyaan andalan kepada mereka: “Yang menggigit itu nyamuk jantan kah atau nyamuk betina?”

Anda bisa jawab?

Wednesday, October 31, 2012

Perpres Tentang Obat ARV Generik Disambut Positif

Mari kita lawan jika ada upaya melemahkan Perpres 76 / 2012 ini. ARV Generik adalah Hak Rakyat!

Perpres Tentang Obat ARV Generik Disambut Positif 

KOMPAS.com - Keputusan pemerintah Indonesia untuk menerbitkan Perpres tentang paten tujuh obat HIV dan Hepatitis B disambut positf oleh berbagai pihak. Langkah ini dinilai sebagai suatu hal yang berani dan sangat penting bagi pengendalian HIV/AIDS di Indonesia.

"Langkah yang diambil Indonesia ini merupakan sebuah manuver penting, tidak hanya berdampak penting bagi para penderita HIV di negaranya yang selama ini telah gigih berkampanye mendukung langkah tersebut, namun juga bagi negara-negara berkembang lainnya ", ungkap Direktur Advokasi Kebijakan Access Campaign MSF (Médecins Sans Frontières/Dokter Lintas Batas) Michelle Childs dalam siaran persnya kepada Kompas.com. 

"Ini merupakan sebuah lisensi dengan dampak terbesar yang pernah dikeluarkan oleh pemerintah, serta dengan jelas mencerminkan realitas jangkauan opsi-opsi pengobatan yang dibutuhkan," tambahnya.

Pada 3 September lalu, pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 76 Tahun 2012 tentang Pelaksaaan Paten oleh Pemerintah terhadap Obat Antiviral dan Antiretroviral, yang intinya mengatur tentang “hak guna pemerintah” - sejenis lisensi wajib yang membebaskan pemerintah dari pembatasan hak paten. Langkah ini ditempuh guna memproduksi tujuh jenis obat-obatan generik yang sangat penting dalam terapi HIV dan Hepatitis B.  Paten yang diambil alih ini tadinya dimiliki oleh perusahaan farmasi terkemuka seperti Merck, GSK, Bristol Myers Squibb, Abbott and Gilead. 

Obat-obatan tersebut adalah efavirenz, abacavir, tenofovir, lopinavir/ritonavir, didanosine, dan kombinasi dosis-tetap tenofovir/emtricitabine serta tenofovir/emtricitabine/efavirenz.  Selama ini obat-obatan ini didapatkan dengan cara mengimport dari luar negeri. Dengan hadirnya Perpres ini, produksi obat-obatan ini bisa dilakukan oleh perusahaan dalam negeri yang ditunjuk pemerintah dengan kewajiban pembayaran royalti sebesar 0,5% kepada perusahaan pemegang paten. Hal ini akan menjamin sekitar 310.000 orang yang hidup dengan HIV di Indonesia untuk bisa memiliki akses terhadap obat-obatan penting penyambung nyawa mereka.

Sambutan positif juga disampaikan Indonesia AIDS Coalition (IAC), sebuah LSM yang bekerja mempromosikan transparansi dan akuntabilitas pemerintah dalam program penanggulangan AIDS di Indonesia.  IAC menilai penerbitan Perpres tersebut sebagai langkah yang membanggakan dan mengundang perhatian dunia internasional.

"Kehadiran Perpes ini telah menunjukkan pemerintah kita berdiri bersama kepentingan rakyat banyak dan bukan kepentingan korporasi. Indonesia AIDS Coalition menyambut baik keluarnya Perpres 76 ini”, ujar Aditya Wardhana, Direktur Eksekutif IAC.

Hadirnya Perpres ini kata Aditya akan sangat membantu menurunkan epidemi AIDS di Indonesia. Tingkat keberhasilan terapi obat ARV pada ODHA (Orang dengan HIV dan AIDS) telah terbukti secara ilmiah mampu menurunkan tingkat penularan baru HIV sebesar 96 persen. Dengan semakin banyaknya jenis ARV, maka harapan dan keberhasilan pengobatan pada ODHA akan semakin meningkat sehingga penularan baru dapat diturunkan.

Perlu diketahui bahwa selama ini ganjalan bagi ODHA dalam memulai dan menjalankan terapi ARV adalah masih adanya ketakutan akan efek samping dari obat yang jenisnya terbatas serta keberlanjutan terapi ini. Adanya produksi dalam negeri dengan jenis yang memadai diharapkan akan memupus ketakutan-ketakutan ini.
 
“Kehadiran ARV secara berkesinambungan juga akan membantu menghilangkan stigma bahwa HIV sama dengan kematian. Ini adalah pesan positif bagi kesehatan publik. Dengan terapi ARV, ODHA bisa tetap bertahan sehat sampai berpuluh tahun. Ini merupakan kampanye bagi masyarakat untuk kemudian berani melakukan tes HIV. Lebih cepat kita tahu status HIV, semakin cepat kita bisa kendalikan epidemi AIDS ini bersama” tutup Aditya.


#ODHABerhakSehat

Salam,
Aditya Wardhana
Indonesia AIDS Coalition
Phone: +62 21 70 8888 27

Mobile: +62 858 147 147 69
Skype: awardhana
Website: www.iac.or.id / www.odhaberhaksehat.org

"Promoting transparency, accountability and civil participation on AIDS response"
 
Di posting ulang di blog ini untuk mendukung program ARV generik. Salam. (Admin)

Friday, October 19, 2012

Nutrisi Tak Cukup, Percepat Penyebaran HIV di Papua?


Saya agak terkejut walau tidak begitu kaget (lho?) melihat salah satu berita di VoA News tentang kelangkaan pangan yang bisa memperparah wabah HIV dan AIDS. Menurut saya,  masalah ini bukan hanya berlangsung di Afrika atau beberapa tempat lain yang disebutkan dalam berita itu (San Fransisco dan Amerika Utara) tetapi juga bisa ditemui di Indonesia khususnya di Papua. Mengapa Papua? Kondisi Papua saat ini sangat memprihatinkan. Isu besar penyebaran HIV dan AIDS sangat mencolok. Prevalensi rata-rata sebesar 2,4%, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia. Itu baru prevalensi rata-rata. Prevalensi lebih tinggi bisa ditemukan di daerah pesisir sulit 3,2% dan pegunungan sebesar 2,9% (Sumber: STHP Papua 2006).   

HIV dan AIDS dan gizi sangat terkait erat. Kaitannya bisa dua arah. Yaitu HIV dan AIDS mempengaruhi status gizi seseorang menjadi buruk atau sebaliknya status gizi seseorang yang rentan mengakibatkannya terinfeksi HIV. Gizi buruk dapat merusak sistem kekebalan tubuh dan memberikan kontribusi pada percepatan full-blown AIDS. Di lain pihak, HIV dan AIDS itu sendiri dapat menyebabkan kekurangan gizi. HIV melemahkan sistem kekebalan tubuh, sehingga mengurangi kemampuan tubuh untuk melawan infeksi. Akibatnya, orang yang HIV-positif dapat menjadi rentan terhadap periode sakit berulang yang berkepanjangan, yang dapat mengurangi nafsu makan mereka dan mengganggu penyerapan nutrisi. Infeksi juga meningkatkan kebutuhan tubuh akan nutrisi penting. Banyak orang yang terinfeksi HIV tidak dapat memenuhi kebutuhan gizi tambahan dan menjadi lemah dan kurang gizi. Di Papua khususnya di wilayah pegunungan tengah, masalah nutrisi atau kecukupan gizi menjadi masalah penting tatkala melihat pola makan sehari-hari mereka. Setiap hari hipere (ubi jalar) menjadi andalan masyarakat untuk dikonsumsi sehari-hari.

Pemberian Makanan Tambahan (dok. pribadi)
Diet yang memadai dan seimbang merupakan komponen penting dari pelayanan dasar bagi orang-orang yang hidup dengan HIV dan AIDS. Mengingat kurangnya fasilitas medis dan obat-obatan untuk AIDS di sebagian besar negara-negara berkembang yang terkena dampak apalagi di daerah seperti Papua pegunungan, sangat penting bahwa upaya yang kuat untuk mencapai dan mempertahankan nutrisi yang baik untuk orang yang terinfeksi HIV harus dilakukan sebagai prioritas atau langkah utama. Tingginya prevalensi HIV di Papua ditengarai akibat kurangnya pengetahuan tentang HIV dan AIDS yang menyebabkan tingginya perilaku seks bebas, usia yang lebih dini dalam melakukan hubungan seks (15 tahun), serta tuntutan ekonomi yang memicu commercial seks (seks dengan bayaran).[1]
HIV dan AIDS serta kematian yang terkait dengannya adalah penyebab utama atau kontributor terhadap kerawanan pangan rumah tangga. Hal ini dapat dimengerti mengingat bahwa penyakit ini biasanya menyerang para anggota rumah tangga yang paling produktif. Ketika para pencari nafkah menjadi sakit, rumah tangga tidak hanya harus mengelola kurangnya tenaga kerja dan pendapatan, tetapi juga harus mengelola hilangnya tenaga kerja yang harus merawat orang sakit tersebut. AIDS umumnya ditandai dengan periode berulang dari penyakit yang mengakibatkan hilangnya tenaga kerja dan pendapatan yang mengakibatkan biaya perawatan kesehatan juga meningkat.

Bakar batu, tradisi saat buka kebun (dok. pribadi)
Di daerah pedesaan, produksi pertanian cenderung bergantung pada tenaga kerja. Sedangkan tenaga kerja biasanya hanya terkonsentrasi pada periode tertentu setiap tahunnya. Contoh: di pegunungan tengah Papua, Wamena misalnya, tenaga kerja biasanya terkonsentrasi pada musim tanam dan musim panen. Keadaan sakit atau pemakaman selama masa tersebut mungkin berarti bahwa seluruh atau sebagian dari waktu penanaman, musim tanam atau panen tidak berjalan sebagaimana mestinya. Kemampuan untuk berpartisipasi dalam kegiatan masyarakat juga akhirnya sangat berkurang.
Ketika seorang anggota rumah tangga dewasa meninggal, orang tua yang masih hidup, kakek-nenek, kerabat dan bahkan anak-anak sendiri harus membantu memenuhi ketersediaan makanan dalam rumah tangga, pendapatan dan perawatan untuk anak yang membutuhkan, menjadi suatu tugas yang sering terlalu banyak bagi mereka untuk ditangani. Putus asa untuk bertahan hidup, dapat mendorong beberapa anggota rumah tangga untuk bertukar seks untuk uang, makanan, barang atau jasa, atau untuk meninggalkan rumah untuk mencari pekerjaan. Hal ini menghadapkan mereka untuk risiko yang lebih besar terhadap infeksi HIV. Kesulitan finansial ini memacu tingginya angka pekerja seks jalanan.[2]
Saat ini, kebanyakan yatim piatu dengan AIDS dirawat melalui jaringan keluarga. Namun dengan meningkatnya jumlah kasus HIV dan AIDS tetap saja akan meningkatkan jumlah anak-anak yang akan berakhir hidup di jalanan tanpa perawatan atau dukungan yang memadai. Seiring dengan waktu anak-anak inipun berpotensi menjadi pekerja seks jalanan pula.

Dampak epidemi pada individu, masyarakat atau suatu lembaga sangat terkait pada kapasitas mereka untuk mengatasi (ability to cope). Tahap dan pola penyebaran HIV dan AIDS di suatu negara juga penting dalam menganalisis kemampuan untuk mengatasi ini. Pada tahap awal, misalnya, ketika prevalensi HIV rendah, hanya sedikit dampak yang dirasakan pada rumah tangga dan masyarakat. Ketika prevalensi HIV semakin meningkat, virus mulai menyebar ke kelompok mobile dan berisiko tinggi. Dampaknya paling benar-benar dirasakan ketika sejumlah besar orang telah terinfeksi HIV dan kematian karena AIDS mulai meningkat.
Kombinasi intervensi dan bagaimana intervensi tersebut akan diimplementasikan akan berbeda tergantung dari tahap epidemi di daerah tersebut. Respon terhadap krisis HIV dan AIDS yang sudah ada, akan secara fundamental berbeda intervensinya dari mempersiapkan krisis yang mungkin timbul.
Di bawah ini adalah contoh dari beberapa intervensi yang dapat dilakukan di Papua yang bertujuan untuk melindungi dan memperbaiki gizi dan keamanan pangan di antara rumah tangga terdampak HIV. Daftar ini bukan daftar terlengkap tetapi hanya bertujuan untuk memberikan gambaran metode mencoba-dan-teruji  (tried and tested) yang dapat digunakan untuk memberikan ilustrasi kepada para pemangku kepentingan apa yang secara layak dapat dilakukan di sektor pangan dan pertanian.

Melakukan Peningkatan Kesadaran (raising awareness)
Kesadaran perlu dibangun terutama tentang hubungan antara HIV dan AIDS, kerawanan pangan dan kekurangan gizi di antara orang-orang yang terlibat dalam perumusan kebijakan dan program, orang yang terlibat dalam perencanaan dan pengembangan proyek agar mereka bisa:
  1. Meninjau dan memasukkan HIV dan AIDS dalam kebijakan pembangunan yang ada, baik itu di level program atau proyek;
  2. Meninjau dan memasukkan tujuan keamanan pangan dan gizi  dalam kebijakan, program dan proyek yang berhubungan dengan HIV dan AIDS.
Perawatan Gizi bagi Orang yang Hidup dengan HIV dan AIDS
Mengingat dampak gizi yang baik pada kualitas hidup dan harapan pada orang yang hidup dengan HIV dan AIDS, program yang meningkatkan akses fisik ke pangan yang bergizi cukup hingga baik dalam kuantitas dan kualitas sangat diperlukan. Ini termasuk program berkebun di rumah (kebun gizi) atau intervensi pertanian lainnya yang dapat menghasilkan berbagai bahan makanan yang dibutuhkan dengan cara yang hemat biaya.
Karena rumah tangga sering kehabisan sumber daya produktif setelah full-blown AIDS, bank makanan lokal dan bantuan pangan dari luar mungkin diperlukan ketika keluarga tidak bisa lagi memenuhi kebutuhan mereka sendiri.
Perawatan gizi/ nutrisi juga melibatkan pendidikan gizi utama dan upaya komunikasi melalui komunitas yang ada dan organisasi perawatan berbasis rumah, atau bisa melalui media radio khususnya pedesaan. Komunikasi dan program pendidikan dan pelatihan berbasis komunitas perlu dikembangkan dan dipelihara.

Mata Pencaharian dan Dukungan Keamanan Pangan untuk Rumah Tangga Terdampak HIV dan AIDS
Intervensi (bisa digabung dengan bantuan pangan), diperlukan untuk membantu rumah tangga yang terkena HIV dan AIDS. Intervensi ini mungkin termasuk bagaimana meningkatkan produksi pangan pendukung dan diversifikasi pangan.
Intervensi ini mungkin tergantung pada tipe rumah tangga: misalnya, rumah tangga dengan yatim piatu atau tanpa kepala keluarga, perlu lebih banyak dukungan dan bantuan langsung. Perempuan sebagai kepala keluarga sering perlu dilindungi untuk peningkatan akses terhadap alat-alat produksi, sedangkan rumah tangga yang membina anak yatim dapat mengambil manfaat dalam peningkatan akses ke keuangan mikro, dan lain-lain.

Sistem Dukungan dan Kepedulian akan Mata Pencaharian Berbasis Masyarakat
Karena rumah tangga terdampak HIV dan AIDS sangat tergantung pada organisasi berbasis masyarakat untuk perawatan dan dukungan, kapasitas organisasi-organisasi ini perlu diperkuat dan didirikan (jika belum ada). Mereka perlu dipromosikan dalam masyarakat di mana mereka belum ada. Kapasitas fisik organisasi perawatan lokal (seperti mutual-help groups dan panti asuhan di daerah perkotaan) yang memberikan perawatan gizi dan bantuan makanan juga perlu diperkuat.
Mengingat tingginya pergantian relawan dalam masyarakat, program-program pelatihan yang diadaptasi secara lokal pada perawatan gizi dan bantuan makanan untuk orang yang hidup dengan atau terpengaruh oleh HIV dan AIDS perlu dibentuk.

Akses ke pendidikan, keterampilan hidup, dan pelatihan kejuruan
Dalam kenyataan sering ditemukan banyak anak yatim piatu dan anak-anak rentan tidak dapat bersekolah, bahkan ketika ada program insentif, dan hanya sedikit yang menerima pendidikan di luar tingkat dasar. Padahal mereka memiliki kebutuhan jangka panjang, termasuk kebutuhan keterampilan hidup dan pendidikan kejuruan, khususnya yang berkaitan dengan gizi, pangan dan pertanian. Oleh karena itu penting untuk memberikan pendidikan dan pelatihan semacam itu baik melalui jalur formal dan informal.

Saya berharap mudah-mudahan contoh intervensi tersebut dapat diterapkan di Papua khususnya di wilayah pegunungan tengah. Semoga!


[1] L. Butt, G. Numbery, and J. Morin. Preventing AIDS in Papua, December 2002.
[2] ibid