Tahun 2012 sudah hendak bergulir berganti dan memasuki tahun yang
baru. Situasi program penanggulangan AIDS di Indonesia menunjukkan beberapa
catatan, baik positif maupun negatif, sepanjang perjalanannya di tahun 2012
ini.
Statistik
HIV dan AIDS di Indonesia.
Mulai pertahun 2012 ini, Kementrian Kesehatan RI menerapkan sistem
pelaporan dengan menggunakan metode yang baru sehingga angka kasus yang
tercatat merupakan angka kasus yang ditemukan pada tahun tersebut dan bukan
terbatas angka kasus kumulatif saja.
Dari Januari 2012 sampai dengan September 2012 dilaporkan ada 15.372
kasus HIV di seluruh Indonesia. Sementara untuk kasus AIDS sendiri dilaporkan
sepanjang Januari – September 2012 sebanyak 3.541 kasus. Bila kita tilik angka
kumulatifnya maka akan ditemukan kumulatif kasus HIV yang dilaporkan sampai
dengan tahun 2012 sebanyak 92.259 kasus dan kasus AIDS kumulatif sampai dengan
2012 sebanyak 39.434 kasus.
Untuk rentang umur sendiri masih didominasi oleh kelompok umur 20-29
tahun kemudian diikuti 30-39 tahun. Untuk kasus HIV di tahun 2012, rasio antara
laki-laki dan perempuan mencapai 1:1 sementara untuk kasus AIDS rasio antara
laki-laki dan perempuan 2:1. Data ini
juga mengatakan bahwa Ibu Rumah tangga menjadi kelompok nomer 2 tertinggi yang
terinfeksi HIV.
Secara kumulatif, jumlah kasus HIV tertinggi ada di DKI Jakarta diikuti
oleh Jawa Timur, Papua, Jawa Barat dan Sumatera Utara.
Sedikit menggembirakan bahwa angka kematian akibat AIDS (CFR)
menurun dari 2,8% pada tahun 2011 menjadi 1,6% pada September 2012. Hal ini
disebabkan makin meluasnya akses pengobatan ODHA (Orang dengan HIV dan AIDS)
dengan menggunakan obat ARV (Anti Retroviral) yang tersedia secara gratis bagi
ODHA yang membutuhkan.
Pembiayaan
program AIDS.
Tidak bisa disangkal lagi bahwa perluasan akses program penjangkauan
pada kelompok beresiko, penyediaan alat pencegah HIV (kondom dan jarum suntik),
program dukungan, perawatan dan pengobatan bagi ODHA mulai mengalami perluasan
dengan adanya dukungan dana-dana bantuan hibah dari luar negeri. Beberapa dana
bantuan ini antara lain diberikan oleh Global Fund, AUSAIDS, USAID serta
beberapa donor humanitarian lainnya.
Kontribusi terbesar bagi pendanaan ini hadir dari Global Fund (GF),
sebuah mekanisme global yang dibentuk untuk mengatasi epidemi HIV, Tb dan
Malaria di dunia. Indonesia menerima hibah dana Global Fund untuk term
pendanaan 2009-2014 bagi 12 propinsi di Indonesia (ronde 8 GF) dan 2010-2015
bagi 21 propinsi sisanya (ronde 9 GF). Model pendanaan baru (New Funding Model)
GF kedepan kelihatannya akan menyulitkan Indonesia sebagai negara dengan
peringkat low-middle income untuk mendapatkan kembali dana bantuan ini sehingga
mesti diantisipasi bahwa 2014 dan 2015 akan menjadi akhir dana dukungan GF di
Indonesia.
Catatan tersendiri bagi Indonesia yang berada dalam peringkat
low-middle income sekaligus menjadi donor dan penerima hibah dari Global Fund
untuk mengutarakan kekuatiran terkait dengan akan diberlakukannya Model
Pendanaan Baru (New Funding Model) dari GF yang semata-mata mengklasifikasikan
negara yang berhak dan tidak berhak akan dana bantuan GF berdasarkan skala GNI
(Gross National Income) dan desease burden. Berkaca pada Indonesia, kenaikan
GNI yang membuat rating Indonesia naik tidak serta merta sejalan dengan
perbaikan sarana dan prasarana kesehatan. Perlu dipikirkan agar Indonesia
bergerak menjadi motor untuk mendorong diperhatikannya HDI (Human Development
Index) sebagai dasar menentukan eligibilitas dana GF.
Kehadiran Global Fund secara masif di Indonesia telah mendorong
perluasan akses besar-besaran bagi program penanggulangan AIDS. Sejak dukungan
GF masuk ke Indonesia, kita mampu menyediakan obat ARV bagi lebih banyak ODHA
di Indonesia. Belum lagi ditambah dengan pendanaan bagi LSM yang menjalankan
program penjangkauan bagi komunitas beresiko yang juga banyak mengandalkan pada
bantuan dana Global Fund ini.
Seiring akan berakhirnya masa pendanaan GF ini, menjadi sebuah tantangan yang serius bagi pemerintah Indonesia
untuk tetap mampu mengelola kebutuhan besar yang sudah tercipta dikarenakan
program GF ini baik di aspek penyediaan obat, jarum suntik, kondom dan dana
bantuan bagi program penjangkauan, pendampingan dan dukungan sebaya.
Di sektor domestik sendiri ada beberapa hal yang perlu dicatat dan
akan berkorelasi dengan aspek pendanaan program AIDS. Yang pertama perlu di
apresiasi adalah PT Jamsostek sebagai sebuah BUMN yang menyediakan layanan
asuransi kesehatan telah memasukkan HIV dalam skema pertanggungannya. Bahkan
diakhir tahun 2012 ini, dengan keluarnya Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi nomer 20 tahun 2012
diatur bahwa batas maksimal pertanggungan pasien AIDS mencapai 20 juta dan bisa
digunakan untuk tes penunjang yang dibutuhkan ODHA seperti tes CD4 dan Viral
Load.
Sejalan dengan UU SJSN (Sistem Jaminan Sosial Nasional), di tahun
2014 sendiri akan mulai dijalankan sebuah skema jaminan sosial nasional (universal
health coverage) yang bisa menjadi peluang guna memecah beban pembiayaan
pengobatan bagi ODHA yang selama ini memakan porsi anggaran cukup besar.
Beberapa pelaku program penanggulangan AIDS berusaha berkejaran dengan batas
waktu guna mengintegrasikan beban pembiayaan pengobatan AIDS kedalam skema BPJS
(Badan Pengelola Jaminan Sosial) 1 ini.
Sampai hari ini belum didapatkan kepastian apakah pengobatan AIDS yang
mencakup ARV, tes penunjang dan pengobatan lainnya sudah dimasukkan dalam skema
penghitungan premi yang akan diberlakukan bagi BPJS 1.
Satu hal yang perlu dicatat pula terkait dengan beban pembiayaan
program penanggulangan AIDS adalah gebrakan yang dibuat Gubernur DKI Jakarta
yang baru, Joko Widodo atau yang kerap dipanggil Jokowi dengan program Kartu
Jakarta Sehat. Kartu ini bisa diakses pula oleh ODHA di Jakarta. Ini adalah
sebuah program yang mengacu pada Universal Health Coverage dan bisa sangat
membantu memecah beban pembiayaan pengobatan AIDS bagi ODHA yang mempunyai KTP
DKI.
Komando Penanggulangan
AIDS
Tahun 2012 ini juga mencatat terjadinya pergantian tongkat Komando
di Komisi yang dibentuk berdasarkan Perpres 75 tahun 2006 guna mengatasi
persoalan HIV dan AIDS yaitu Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN).
Sekretaris KPAN yang lama, Nafsiah Mboi ditunjuk oleh Presiden SBY menjadi
Menteri Kesehatan yang baru menggantikan Almarhumah Endang Sedyaningsih yang
dipanggil Tuhan ditengah masa baktinya sebagai Menteri Kesehatan RI. Sebagai
gantinya, KPAN kemudian mempunyai sekretaris yang baru yaitu Kemal Siregar yang
sebelumnya menjabat Deputi Pengembangan Program KPAN.
Di tangan Sekretaris KPAN yang baru ini, belum terlihat adanya
perubahan radikal dalam program selain meneruskan program yang sudah ada. Hal
ini bisa jadi dikarenakan program yang sudah ada selama ini sedikit banyak juga
lahir dari desain bagian pengembangan program semasa Sekretaris baru KPAN ini
menjabat. Besar harapan disaat Mid-Term review SRAN yang rencananya akan
dilangsungkan tahun 2013 nanti, ada terobosan-terobosan yang diambil Sekretaris KPAN guna mendorong percepatan dan
keberlanjutan program penanggulangan AIDS di Indonesia.
Aspek transparansi dan akuntabilitas perlu ditingkatkan dalam tubuh
KPAN beserta anggotanya. Beberapa perbaikan sudah dilakukan diantaranya dengan
membuka agenda meeting koordinasi anggota KPAN kepada publik, perbaikan SOP
dalam pengelolaan keuangan dan beberapa perbaikan administratif lainnya demi
meningkatkan transparansi dan akuntabilitas KPAN sebagai sebuah badan publik.
Tugas berat menanti KPAN kedepan sebab ditengah situasi epidemi AIDS
yang semakin kompleks dengan mulai masuknya epidemi ini ke ranah Ibu Rumah
tangga, diikuti pula dengan semakin menurunnya komitment pendanaan global bagi
program penanggulangan AIDS. Menjadi sebuah tanda tanya besar, mampukah KPAN
menindak lanjuti keberlangsungan program ditengah makin merosotnya bantuan
pendanaan asing bagi program AIDS di Indonesia.
Akses bagi obat-obatan
esensial.
Indonesia patut berbangga hati sebab pemerintah kita berani
mengambil langkah revolusioner dengan mengeluarkan Peraturan Presiden Nomer 76
tahun 2012 tentang Pelaksanaan Paten oleh Pemerintah terhadap Obat Antiviral
dan Antiretroviral.
Hadirnya produk hukum ini sedikit memperlihatkan bahwa pemerintah kita berdiri
bersama kepentingan rakyat dan bukan kepentingan korporasi produsen obat.
Perpres ini telah memberikan kita ruang dan landasan hukum untuk
meng-generikkan 7 jenis obat ARV yang bisa digunakan bagi pengobatan AIDS dan
Hepatitis B. Tentu saja kehadiran Perpres ini masih perlu diperkuat dengan
tindakan nyata guna memperkuat industri farmasi dalam negeri yang pro rakyat
mengingat selama ini kondisi farmasi dalam negeri kita masih dihantui dengan
persoalan biaya tinggi, kebergantungan pada bahan baku import sampai dengan
masih belum didapatnya pre qualifikasi WHO guna memproduksi obat ARV ini
sehingga layak eksport.
Tahun ini juga mencatat keluarnya surat edaran dari Kementrian
Kesehatan
yang mendorong agar ARV jenis d4t tidak lagi diberikan kepada pasien ODHA baru.
ARV jenis ini diketahui membawa dampak membahayakan bagi ODHA di jangka
menengah dan panjang setelah penggunaannya. Sayangnya, kehadiran surat edaran
ini belum tersosialisasikan secara merata sehingga di banyak daerah ARV yang
berbahaya ini masih diresepkan kepada ODHA dan situasi ini tambah pelik dengan
masih sangat terbatasnya jenis obat ARV yang beredar di Indonesia sehingga
menyulitkan ODHA jika membutuhkan penggantian jenis obat ARV ini.
Sampai hari ini masih ditemukan adanya obat ARV kadaluarsa yang
beredar bagi pasien ODHA. Menjadi sebuah tanda tanya besar mengingat belakangan
ini ARV yang kadaluarsa adalah ARV import yang dibeli dengan dana Global Fund
dan menggunakan mekanisme Voluntary Pooled Procurement yang disyaratkan oleh
GF. Perlu menjadi catatan kedepan bahwa proses forecasting dan procurement
perlu dilakukan dengan lebih teliti sehingga lama proses tender sampai dengan
pengiriman ARV ke Indonesia bisa diantisipasi dan tidak menyebabkan ARV
tersebut kadaluarsa.
Persoalan rantai distribusi masih belum bisa selesai dengan tuntas.
Disana-sini masih ditemukan laporan kekosongan stock ARV. Satu hal yang
menarik, di tingkat nasional Kementrian Kesehatan sudah bisa duduk bersama
dengan segenap stake holder lainnya yang terkait dengan ARV termasuk dengan LSM
serta ODHA untuk membentuk Pokja SCM (Supply Chain Management) ARV yang kerap
kali bertindak menjadi pusat penerima laporan dan clearing house bagi persoalan
seputar ARV yang dihadapi ODHA.
Gerakan Organisasi
Masyarakat Sipil.
Meski tidak bisa dipungkiri bahwa Organisasi Masyarakat Sipil (OMS)
telah berperan besar dalam proses menanggulangi epidemi AIDS sejak awal di
Indonesia, sayangnya masih belum diimbangi dengan perhatian yang cukup dari
pemerintah dalam memandang intervensi yang digerakkan OMS ini. Program kerja OMS belum dipandang sebagai
sebuah bagian integral dari keberhasilan program AIDS sehingga oleh karenanya
dipandang perlu untuk didanai oleh pemerintah secara berkesinambungan.
Program kerja OMS selama ini dipandang sebatas sebuah kontrak kerja
antara OMS dan donornya sehingga keberlangsungan program selalu menjadi momok
yang menakutkan bagi OMS. Padahal tidak bisa dipungkiri bahwa program semacam
program penjangkauan, pendampingan dan dukungan sebaya yang selama ini
dilakukan oleh OMS itu sangat berkontribusi dalam keberhasilan pemerintah
menyediakan layanan kesehatan guna mengendalikan epidemi AIDS. Intervensi
semacam ini perlu mulai diintegrasikan ke dalam program kerja pemerintah dan
didanai sehingga nantinya program penjangkauan, pendampingan dan dukungan
sebaya tetap berjalan beriringan dalam upaya penguatan sistem layanan kesehatan
guna merespon epidemi AIDS di Indonesia.
Hal yang bisa ditangkap pula dalam gerakan masyarakat sipil di tahun
ini adalah mulai masifnya penggunaan media jejaring sosial sebagai media
penyampai informasi HIV dan AIDS kepada masyarakat luas. Satu kampanye yang
dijalankan masyarakat sipil yaitu #ODHABerhakSehat mulai dapat diterima
dikalangan penggiat media jejaring sosial sehingga menciptakan peluang kerja
sama lebih lanjut guna meningkatkan cakupan penerima pesan dan informasi HIV
dan AIDS melalui media internet di Indonesia.
Pelibatan ODHA di dalam semua lini perawatan yang komprehensif
(contiunum of care) mutlak semakin diperlukan. Pelibatan ODHA akan membuka
ruang guna memastikan layanan yang diberikan akan berorientasi pada pasien
serta menjunjung tinggi hak asasi manusia.
Terobosan atau salah
kaprah.
Isu terakhir yang menjadi catatan Indonesia AIDS Coalition (IAC) di
tahun 2012 ini terkait dengan wacana terkait dengan kriminalisasi pelanggan
pekerja seks guna melindungi perempuan dan anak dari infeksi HIV. Wacana yang
bergulir di mailing list nasional penggiat program AIDS (aids-ina) kemudian
bergulir dengan kencang di seluruh Indonesia dikarenakan mendapatkan dukungan
dari lembaga yang bertindak sebagai penerima dana hibah primer GF yang bekerja
di 12 propinsi di Indonesia.
Argumentasi sengit dikeluarkan oleh kedua belah pihak, baik yang pro
maupun yang kontra dengan wacana ini, dan belum menemukan titik temu. Wacana
yang keluar dengan didasari rasa keprihatinan semata ini kelihatannya masih sulit
diterima oleh sebagian kalangan yang menuntut argumentasi berbasis bukti
dibalik keluarnya wacana ini.
Organisasi Pekerja Seks berskala nasional (OPSI) tidak urung
mengutarakan keberatannya menyikapi wacana ini. Sekretaris KPAN pun dalam
releasenya yang dikeluarkan melalui Youtube turut menyatakan bahwa wacana ini
tidak mendapatkan dukungan dari pihaknya.
Berhasil tidaknya wacana ini terwujud menjadi program akan bisa kita
lihat kedepan. Akankah kita akan menjelma menjadi polisi moral yang menyatakan suatu
hal benar atau salah atau kita mau mendengarkan suara komunitas pekerja seks
dan membangun respon program dengan memperhatikan aspek memanusiakan setiap
manusia sesuai dengan hakikatnya.
PENUTUP
Tahun 2012 ini meninggalkan banyak catatan besar baik di aspek
keberhasilan maupun pekerjaan rumah yang masih harus dilakukan di tahun-tahun
mendatang. Mengintegrasikan program penanggulangan AIDS kedalam “agenda
pembangunan setelah 2015” menjadi sebuah kebutuhan yang tidak terelakkan demi
menjamin keberlangsungan program penanggulangan AIDS di Indonesia.
Perjuangan mengendalikan epidemi AIDS tidak boleh kendor. Semua
penghalang bisa diruntuhkan selama pemerintah bekerja bersama dengan ODHA, OMS
dan juga komunitas terdampak lainnya demi membangun respon yang memperkuat
sistem layanan kesehatan dengan berbasis penghormatan akan Hak Asasi Manusia.
Indonesia AIDS Coalition (IAC) mengucapkan selamat tahun baru 2013
dan mari kita terus berjuang kendalikan epidemi AIDS di Indonesia.
Demi Indonesia yang lebih baik.
Aditya Wardhana
Direktur Eksekutif, IAC
+62 858 147 147 69