Salam!
Kawan-kawan, saya copykan tulisan
yang dimuat di buletin PKNI yang terbaru.
Wassalam,
-ver
“ … Setelah mendengarkan uraian dari
Saudara tadi, saya menyimpulkan apa yang anda lakukan adalah baik. Anda mencoba
melakukan ajakan pada kebaikan. Anda menawarkan para pecandu untuk mengurangi
kemudharatan, mengajak untuk menuju kesembuhan … “ komentar pak Kiyai, seorang
pengasuh pesantren di Jawa Barat, setelah presentasi tentang Harm Reduction
lebih kurang 6 tahun lalu. Pak Kiyai melanjutkan uraiannya tentang sebuah
hadits yang intinya menyatakan bahwa keutamaan mengajak orang yang dalam jalan
sesat untuk kembali pada kebaikan dan kebenaran adalah lebih besar dari pada
mati syahid. Sejak itu saya menjadi semakin yakin bahwa apa yang kami lakukan
adalah benar. Termasuk dalam melaksanakan program Layanan Alat dan Jarum Suntik
Steril. (catatan refleksi penulis)
Jika kita menelusuri sejarah harm
Reduction di Indonesia, ada beberapa batu loncatan yang dapat digunakan sebagai
ilustrasi. Ada yang menyebutkan bahwa tahun 1999 sebagai tahun awal
respon terhadap permasalahan AIDS di kalangan pengguna Napza suntik
(penasun). Karena pada tahun itu dilakukan sebuah workshop nasional yang
diselenggarakan kementrian kesehatan (waktu itu Departemen Kesehatan) dengan
dukungan dari berbagai lembaga non pemerintah local dan internasional.
Kedua, pada tahun yang sama, sebuah NGO, Yayasan Hati-hati , memulai kegiatan
pendampingan pada kelompok penasun di wilayah Pantai Kuta, Bali. Dengan bekal
pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki, para petugas lapangan Yayasan
Hati-hati yang hampir semuanya adalah bekas pengguna napza suntik, melakukan
pendampingan termasuk membagikan alat suntik steril kepada para penasun.
Sejak tahun 2001, FHI melalui
program ASA, memulai upaya pengembangan program Harm Reduction dengan dukungan
konsultan berpengalaman, Prof. Wayne Wiebel. ‘Dr. Drugs” , demikian nama
jalanan professor yang telah mengujicobakan model penjangkauan yang dikenal
dengan ILOM, atau diterjemahkan sebagai model penjangkauan menggunakan pemimpin
sesama.
Pada tahun 2002, sejumlah LSM mitra
Program ASA melakukan penjangkauan dan pendampingan pada IDU. Pada tahun 2003,
program dukungan AUSAID, yang kemudian menjadi IHPCP, juga mulai giat
memberikan dukungan pada upaya penanggulangan AIDS pada kelompok penasun di
wilayah Indonesia Timur.
Dengan dukungan pendanaan USAID,
Program ASA memberikan kontrak kepada AHRN dan CHR untuk memberikan dukungan
atas upaya pengembangan program Haam Reduction di Idnonesia. Kedua lembaga ini
diamanatkan untuk memberikan advokasi dalam mendapatkan dukungan dari
instustuio kepolisian, institusi dan lembaga pemasyarakatan, serta
mendorong dan memberkan penguatan terhadap jaringan masyarakat sipil dalam
penanggulangan AIDS pada penasun. Pada tahun 2003, Jangkar dimulai.
Dukungan Nyata
Kontroversi LASS sudah muncul sejak
Harm Reduction disosialisasikan di Indonesia. Perjalanan ini ditandai dengan
MoU antara KPA BNN, kertas-kertas kerja dari Kepolisian terkait penanggulangan
AIDS pada pengguna Narkoba, komitmen Indonesia untuk 3 by 5 (inisiatif WHO),
dan lain-lain. Pada tahun 2005, perkembangan HR di Indonesia ditandai dengan
dukungan pemerintah secara formal dan sungguh-sungguh dengan diadakannya
Pertemuan Nasional HR (PNHR) pertama di Jakarta. Empat buku panduan
pengembangan program dan kebijakan terkait Harm Reduction diluncurkan oleh
Departemen Kesehatan RI pada waktu yang bersamaan. Pada pertemuan nasional
tersebut program AIDS Malysia mengirimkan Dr. Adeeba untuk melihat dan
belajar dari proses implementasi Harm reduction yang dilakukan di Indonesia.
Akhirnya berkat upaya bersama yang
dilakukan berbagai pihak pada tahun-tahun sebelumnya, para aktivis HR
berhasil mendorong munculnya kebijakan pertama pemerintah yang secara
tegas menjelaskan tentang program Harm Reduction termasuk dengan Layanan Alat
Suntik Steril . Hal ini secara jelas terlihat dari Permenkes No 567/
2006. Kebijakan ini diikuti oleh munculnya Kebijakan nasional HR yang dikeluarkan
oleh Menkokesra selaku Kepala KPAN. Kebijakan nasional menekankan pentingnya
menerapkan program Harm reduction secara komprehensif, termasuk LASS. Isi dari
Permenkokesra seharusnya juga mengikat institusi Polri, dimana Kapolri dan
Kepala BNN juga menjadi anggota KPA Nasional.
Secara jelas dan gamblang berbagai
hal termasuk LASS dipaparkan pada kedua dokumen utama tersebut. Sejak itu,
program LASS berkembang di berbagai tempat di kota-kota besar di Indonesia.
Pada akhir tahun 2008, menurut dokumentasi Unit IDU ASA Program, terdapat lebih
dari 40 LSM yang secara aktif melakukan pendampingan pada kelompok IDU,
hampir seluruhnya menyediakan Layanan penyediaan Alat Suntik Steril.
Permenkes 567 yang menjadi panduan,
dan acuan dalam pengembangan SOP atau prosedur pelaksanaan LASS, menyebutkan
bahwa LASS dapat dilaksanakan dengan 3 metode distribusi. Fixed Site (layanan
menetap, DIC dan PKM atau institusi kesehatan lain); Mobile (oleh petugas
lapangan ) dan Satalite, oleh relawan komunitas yang telah dipercaya dan
dilatih. Pesatnya perkembangan program HR tersebut menunjukkan berhasilnya
komitmen pemerintah dalam langkah awal dukungan pada program Harm
reduction.
Pada kurun waktu tersebut, LASS
dilaksanakan secara optimal. Prosedur pembagian jarum diawali dengan
pengenalan pada informasi dasar, pengenalan layanan yang tersedia, sampai pada
penyediaan Alat suntik steril, alcohol swab, dan kondom. Material KIE pendukung
juga tersedia secara meluas dan memadai. Program dukungan ASA mencatat
distribusi jarum mellaui mitranya mencapai 1,3 juta jarum pada tahun 2008.
Perjalanan ini tentu saja tidak
semulus ringkasan cerita di atas. Banyak kisah pahit getir terkait dengan LASS
dan program HR pada umumnya sebelum mencapai tahap tersebut. Kisah PO yang
ditangkap atau ditahan, kisah PO yang dicerca masyarakt atau Toma Toga bukan
kisah yang asing. Alhamdulilah, pengalaman-pengalaman tersebut semakin
memperkuat program yang berjalan.
Dinamika pelaksanaan LASS
Perubahan terjadi sekitar tahun 2008
akhir ketika mulai muncul pembicaraan di kalangan activis HR bahwa LASS akan
dipusatkan hanya melalui PKM. Hal ini diperkuat melalui isi proposal R8 GFATM
yang diajukan. Melalui program terbesar tersebut, LSM yang menjadi mitra
pelaksana program, tidak mendapakan mandat untuk menjalankan secara langsung
LASS. Akibatnya pada kedua program tersebut (mitra pada Ronde 8 dan Ronde 9)
tidak memiliki indikator jumlah jarum yang terdistribusi dan jumlah penerima
layanan LASS.
Sayangnya perubahan strategi ini
tidak terjadi secara terbuka dan didukung dengan dokumen yang jelas. Sampai
akhir 2009, tidak ada satu dokumenpun yang menyatakan perubahan SOP pada LASS.
Bahkan, pada SOP layanan HR pada PKM yang diterbitkan oleh Kemenkes pada tahun
2008, menggambarkan metode distribusi jarum masih tetap sama, yaitu cara, fixed
site, mobile, dan satelit. Informasi dari para petugas lapangan berikut
menyebutkan bagaimana perubahan terjadi. Kebijakan tersebut didasarkan pada
pemikiran bahwa LASS harus memperhatikan masalah kesinambungan layanan (sustainability).
Kalau di LSM tidak sustain, kalau di PKM sustain. Karena ini ‘kan layanan
pemerintah. Kemudian ada yang mejelaskan pula bahwa kebijakan yang
mengarahkan agar penasun mengambil jarum hanya pada PKM bisa dijakdikan sebagai
indicator bahwa penasun tersebut sudah mandiri. Menjadi indikasi keberhasilan
program. Seiring dengan proses amandemen UU Narkotika (yang kemduain, menjadi
UU baru, bukan revisi/ amandemen), sempat keluar penjelasan bahwa pemusatan
layanan pada PKM sesungguhnya dilakukan agar tidak bertentangan dengan UU
Narkotika. Tentu saja semua ini hanya ucapan verbal dan tidak tertulis.
Pada tahun 2006-2007 IHPCP mulai
memberikan dukungan yang lebih besar pada PKM/ penguatan institusi layanan pemerintah.
Seiring dengan pengembangan layanan HR di PKM, yang sebagian juga menyediakan
layanan terapi Rumatan Metadon, mulai terjadi friksi secara tidak langsung pada
proses LASS. Ketika Progrm ASA sudah selesai, tdiak ada yang menyediakan suplai
jarum suntiksteril bai LSM. Sementara LASS yang disediakan di PKM belum begitu
optimal dalam layanannya. Masih banyak IDU yang tidak menggunakan layanan
secara masimal. Berbagai isyu muncul terkait LASS. Masalah jenis jarum yang
disediakan tidak memenuhi kebutuhan penasun; sistem distribusi yang tidak
standar; ada yang memberikan jarum untuk pancingan, atau pertemuan awal; tapi
kemuianharus merujuk ke puskesmas. LSM pelaksana HR bekerja keras untuk
membentuk mekanisme dan sistem untuk memotivasi penasun dalam menggunakan
LASS di PKM.
Dalam beberapa tahun terakhir, dari
proses persiapan penyusunan proposal GF R11, pada tahun 2010, review layanan
kesehatan terkait HIV dan AIDS oleh Kemenkes 2011 didukung oleh WHO, dan
berbagai forum lain, temuan-temuan lapangan memperlihatkan bahwa kualitas LASS
program harm reduction di Indonesia mengalami penurunan. Hal ini mengancam akan
terjadinya infeksi baru dan reinfeksi di kalangan penasun. Berbagai masalah
sedang melingkupi LASS. Tentang ketidakjelasan atau ketidak pastian
tentang metode distribusi jarum atau alat suntik. Tentang standar layanan (apa
saja material yang dibagikan, mengapa alcohol swab yang penting menjadi hilang?
Bagiamna dengan material KIE, kondom, dan hal-hal lain).
Kabar bagusnya, dalam setahun
terakhir HCPI (lanjutan IHPCP) telah menunjukkan kembali dukungannya pada LASS
yang dialksanakan oleh LSM. Demikian juga dukungan program SUM, meskipun ada
kekhawatiran bahwa kebijakan pendanaan AIDS dari USAID menyebutkan pengetatan
kembali pada LASS.
Bahan Renungan
Pada bulan Juni yang lalu
Persaudaraan Korban Napza Indonesia (PKNI) bekerja sama dengan Pusat Penelitian
AIDS Atma Jaya Jakarta mengadakan sebuah kuliah umum dengan topik
LASS. Dalam pertemuan tersebut saya menyimpulkan beberapa pertanyaan utama
terkait LASS, yaitu:
- Apakah kebutuhan IDU akan jarum steril sudah terpenuhi secara adekuat? Apakah layanan LASS sudah digunakan secara maksimal untuk menghubungkan atau mempromosikan layanan-layanan terkait lainnya (kesehatan dasar, pemberian informasi, VCT, dan lain- lain)?
- Apakah semua sumberdaya yang diperlukan sudah tersedia dan mencukupi? (Apakah tenaga pelaksana sudah memperoleh pengayaan atau penguatan kapasitas yang memadai? Apakah material pencegahan termasuk KIE yang dibutuhkan sudah tersedia? Apakah aturan-aturan pendukung sudah tersedia, tersosialisasi dengan baik untuk para stakeholder?)
- Apakah dengan pengalaman dalam menjalankan dan mengelola LASS selama 6 tahun terakhir ini, pelaksanaan sudah berjalan seperti yang diharapkan?
Para pembaca yang budiman, sebagai
penutup tulisan ini saya mnegajak kembali kepada kita semua untuk merenungkan
kembali 3 pertanyaan di atas. Jika didengar sepintas, jawaban kita mungkin bisa
beragam. Karena posisi dan cara pandang kita yang berbeda-beda. Tentu saja ada
banyak informasi dari proses review, evaluasi, asesmen yang sudah dilakukan
selama ini terkait LASS atau yang mencakupnya.
Masalahnya, bisakah kita
sungguh-sungguh dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas? Karena
jawaban kita tersebut akan menjawab pertanyaan Quo vadis, LASS
Indonesia? Mau kemana program Harm Reduction Indonesia? ***
*) Very Kamil
Pengamat Program AIDS Indonesia
Peneliti di Pusat Penelitian AIDS
Atma Jaya Jakarta
Sedang mengikuti program S3
Sosiologi di Universitas Indonesia
PS. Kritik, komentar, pertanyan
silahkan dilayangkan untuk tulisan ini melalui email ke: verykamil@gmail.com
atau dalam ruang diskusi publik lainnya.
Blog ini hanya memuat kembali tulisan di atas yang didapat dari milis komunitas aids Indonesia. Dimuat karena ini adalah bahan diskusi dan informasi yang sangat menarik. Diskusi dan pertanyaan silahkan dialamatkan langsung ke email Pak Very Kamil. Terimakasih.
No comments:
Post a Comment