Tuesday, October 2, 2012

Refleksi LASS: Perjalanan 6 tahun - by Very Kamil*


Salam!
Kawan-kawan, saya copykan tulisan yang dimuat di buletin PKNI yang terbaru.

Wassalam,
-ver
 
“ … Setelah mendengarkan uraian dari Saudara tadi, saya menyimpulkan apa yang anda lakukan adalah baik. Anda mencoba melakukan ajakan pada kebaikan. Anda menawarkan para pecandu untuk mengurangi kemudharatan, mengajak untuk menuju kesembuhan … “ komentar pak Kiyai, seorang pengasuh pesantren di Jawa Barat, setelah presentasi tentang Harm Reduction lebih kurang 6 tahun lalu. Pak Kiyai melanjutkan uraiannya tentang sebuah hadits yang intinya menyatakan bahwa keutamaan mengajak orang yang dalam jalan sesat untuk kembali pada kebaikan dan kebenaran adalah lebih besar dari pada mati syahid. Sejak itu saya menjadi semakin yakin bahwa apa yang kami lakukan adalah benar. Termasuk dalam melaksanakan program Layanan Alat dan Jarum Suntik Steril. (catatan refleksi penulis)

 Jika kita menelusuri sejarah harm Reduction di Indonesia, ada beberapa batu loncatan yang dapat digunakan sebagai ilustrasi. Ada yang menyebutkan bahwa tahun 1999 sebagai tahun awal respon  terhadap permasalahan AIDS di kalangan pengguna Napza suntik (penasun). Karena pada tahun itu dilakukan sebuah workshop nasional yang diselenggarakan kementrian kesehatan (waktu itu Departemen Kesehatan) dengan dukungan dari berbagai lembaga non pemerintah local  dan internasional. Kedua, pada tahun yang sama, sebuah NGO, Yayasan Hati-hati , memulai kegiatan pendampingan pada kelompok penasun di wilayah Pantai Kuta, Bali. Dengan bekal pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki, para petugas lapangan Yayasan Hati-hati yang hampir semuanya adalah bekas pengguna napza suntik, melakukan pendampingan termasuk membagikan alat suntik steril kepada para penasun.
Sejak tahun 2001, FHI melalui program ASA, memulai upaya pengembangan program Harm Reduction dengan dukungan konsultan berpengalaman, Prof. Wayne Wiebel. ‘Dr. Drugs” , demikian nama jalanan professor yang telah mengujicobakan model penjangkauan yang dikenal dengan ILOM, atau diterjemahkan sebagai model penjangkauan menggunakan pemimpin sesama.
Pada tahun 2002, sejumlah LSM mitra Program ASA melakukan penjangkauan dan pendampingan pada IDU. Pada tahun 2003, program dukungan AUSAID, yang kemudian menjadi  IHPCP, juga mulai giat memberikan dukungan pada upaya penanggulangan AIDS pada kelompok penasun di wilayah Indonesia Timur.
Dengan dukungan pendanaan USAID, Program ASA memberikan kontrak kepada AHRN dan CHR untuk memberikan dukungan atas upaya pengembangan program Haam Reduction di Idnonesia. Kedua lembaga ini diamanatkan untuk memberikan advokasi dalam mendapatkan dukungan dari instustuio kepolisian, institusi  dan lembaga pemasyarakatan, serta mendorong dan memberkan penguatan terhadap jaringan masyarakat sipil dalam penanggulangan AIDS pada penasun. Pada tahun 2003, Jangkar dimulai.

Dukungan Nyata
Kontroversi LASS sudah muncul sejak Harm Reduction disosialisasikan di Indonesia. Perjalanan ini ditandai dengan MoU antara KPA BNN, kertas-kertas kerja dari Kepolisian terkait penanggulangan AIDS pada pengguna Narkoba, komitmen Indonesia untuk 3 by 5 (inisiatif WHO), dan lain-lain. Pada tahun 2005, perkembangan HR di Indonesia ditandai dengan dukungan pemerintah secara formal dan sungguh-sungguh dengan diadakannya Pertemuan Nasional HR (PNHR) pertama di Jakarta. Empat buku panduan pengembangan program dan kebijakan terkait Harm Reduction diluncurkan oleh Departemen Kesehatan RI pada waktu yang bersamaan. Pada pertemuan nasional tersebut program AIDS Malysia  mengirimkan Dr. Adeeba untuk melihat dan belajar dari proses implementasi Harm reduction yang dilakukan di Indonesia.
Akhirnya berkat upaya bersama yang dilakukan berbagai pihak pada tahun-tahun  sebelumnya, para aktivis HR berhasil mendorong munculnya  kebijakan pertama pemerintah yang secara tegas menjelaskan tentang program Harm Reduction termasuk dengan Layanan Alat Suntik Steril . Hal ini secara jelas terlihat dari  Permenkes No 567/ 2006. Kebijakan ini diikuti oleh munculnya Kebijakan nasional HR yang dikeluarkan oleh Menkokesra selaku Kepala KPAN. Kebijakan nasional menekankan pentingnya menerapkan program Harm reduction secara komprehensif, termasuk LASS. Isi dari Permenkokesra seharusnya juga mengikat institusi Polri, dimana Kapolri dan Kepala BNN juga menjadi anggota KPA Nasional.
Secara jelas dan gamblang berbagai hal termasuk LASS dipaparkan pada kedua dokumen utama tersebut. Sejak itu, program LASS berkembang di berbagai tempat di kota-kota besar di Indonesia. Pada akhir tahun 2008, menurut dokumentasi Unit IDU ASA Program, terdapat lebih dari 40 LSM yang secara aktif  melakukan pendampingan pada kelompok IDU, hampir seluruhnya menyediakan Layanan penyediaan Alat Suntik Steril.
Permenkes 567 yang menjadi panduan, dan acuan dalam pengembangan SOP atau prosedur pelaksanaan LASS, menyebutkan bahwa LASS dapat dilaksanakan dengan 3 metode distribusi. Fixed Site (layanan menetap, DIC  dan PKM atau institusi kesehatan lain); Mobile (oleh petugas lapangan ) dan Satalite, oleh relawan komunitas yang telah dipercaya dan dilatih. Pesatnya perkembangan program HR tersebut menunjukkan berhasilnya komitmen pemerintah dalam langkah awal dukungan pada program Harm reduction. 
Pada kurun waktu tersebut, LASS dilaksanakan secara optimal. Prosedur pembagian jarum  diawali dengan pengenalan pada informasi dasar, pengenalan layanan yang tersedia, sampai pada penyediaan Alat suntik steril, alcohol swab, dan kondom. Material KIE pendukung juga tersedia secara meluas dan memadai. Program dukungan ASA mencatat distribusi jarum mellaui mitranya mencapai 1,3 juta jarum pada tahun 2008.
Perjalanan ini tentu saja tidak semulus ringkasan cerita di atas. Banyak kisah pahit getir terkait dengan LASS dan program HR pada umumnya sebelum mencapai tahap tersebut. Kisah PO yang ditangkap atau ditahan, kisah PO yang dicerca masyarakt atau Toma Toga bukan kisah yang asing. Alhamdulilah, pengalaman-pengalaman tersebut semakin memperkuat program yang berjalan.

Dinamika pelaksanaan LASS
Perubahan terjadi sekitar tahun 2008 akhir ketika mulai muncul pembicaraan di kalangan activis HR bahwa LASS akan dipusatkan hanya melalui PKM. Hal ini diperkuat melalui isi proposal R8 GFATM yang diajukan. Melalui program terbesar tersebut, LSM  yang menjadi mitra pelaksana program, tidak mendapakan mandat untuk menjalankan secara langsung LASS. Akibatnya pada kedua program tersebut (mitra pada Ronde 8 dan Ronde 9) tidak memiliki indikator jumlah jarum yang terdistribusi dan jumlah penerima layanan LASS.
Sayangnya perubahan strategi ini tidak terjadi secara terbuka dan didukung dengan dokumen yang jelas. Sampai akhir 2009, tidak ada satu dokumenpun yang menyatakan perubahan SOP pada LASS. Bahkan, pada SOP layanan HR pada PKM yang diterbitkan oleh Kemenkes pada tahun 2008, menggambarkan metode distribusi jarum masih tetap sama, yaitu cara, fixed site, mobile, dan satelit. Informasi dari para petugas lapangan berikut menyebutkan bagaimana perubahan terjadi. Kebijakan tersebut didasarkan pada pemikiran bahwa LASS harus memperhatikan masalah kesinambungan layanan (sustainability). Kalau di LSM tidak sustain, kalau di PKM sustain. Karena ini ‘kan layanan pemerintah. Kemudian ada yang mejelaskan pula bahwa kebijakan yang mengarahkan agar penasun mengambil jarum hanya pada PKM bisa dijakdikan sebagai indicator bahwa penasun tersebut sudah mandiri. Menjadi indikasi keberhasilan program. Seiring dengan proses amandemen UU Narkotika (yang kemduain, menjadi UU baru, bukan revisi/ amandemen), sempat keluar penjelasan bahwa pemusatan layanan pada PKM sesungguhnya dilakukan agar tidak bertentangan dengan UU Narkotika. Tentu saja semua ini hanya ucapan verbal dan tidak tertulis.
Pada tahun 2006-2007 IHPCP mulai memberikan dukungan yang lebih besar pada PKM/ penguatan institusi layanan pemerintah. Seiring dengan pengembangan layanan HR di PKM, yang sebagian juga menyediakan layanan terapi Rumatan Metadon, mulai terjadi friksi secara tidak langsung pada proses LASS. Ketika Progrm ASA sudah selesai, tdiak ada yang menyediakan suplai jarum suntiksteril bai LSM. Sementara LASS yang disediakan di PKM belum begitu optimal dalam layanannya. Masih banyak IDU yang tidak  menggunakan layanan secara masimal. Berbagai isyu muncul terkait LASS. Masalah jenis jarum yang disediakan tidak memenuhi kebutuhan penasun; sistem distribusi yang tidak standar; ada yang memberikan jarum untuk pancingan, atau pertemuan awal; tapi kemuianharus merujuk ke puskesmas. LSM pelaksana HR bekerja keras untuk membentuk mekanisme dan sistem untuk memotivasi penasun dalam  menggunakan LASS di PKM.
Dalam beberapa tahun terakhir, dari proses persiapan penyusunan proposal GF R11, pada tahun 2010, review layanan kesehatan terkait HIV dan AIDS oleh Kemenkes 2011 didukung oleh WHO, dan berbagai forum lain, temuan-temuan lapangan memperlihatkan bahwa kualitas LASS program harm reduction di Indonesia mengalami penurunan. Hal ini mengancam akan terjadinya infeksi baru dan reinfeksi di kalangan penasun. Berbagai masalah sedang melingkupi LASS. Tentang ketidakjelasan atau ketidak pastian tentang metode distribusi jarum atau alat suntik. Tentang standar layanan (apa saja material yang dibagikan, mengapa alcohol swab yang penting menjadi hilang? Bagiamna dengan material KIE, kondom, dan hal-hal lain).
Kabar bagusnya, dalam setahun terakhir HCPI (lanjutan IHPCP) telah menunjukkan kembali dukungannya pada LASS yang dialksanakan oleh LSM. Demikian juga dukungan program SUM, meskipun ada kekhawatiran bahwa kebijakan pendanaan AIDS dari USAID menyebutkan pengetatan kembali pada LASS.

Bahan Renungan
Pada bulan Juni yang lalu Persaudaraan Korban Napza Indonesia (PKNI) bekerja sama dengan Pusat Penelitian AIDS Atma Jaya Jakarta mengadakan sebuah kuliah umum  dengan topik LASS.  Dalam pertemuan tersebut saya menyimpulkan beberapa pertanyaan utama terkait LASS, yaitu:
  1. Apakah kebutuhan IDU akan jarum steril sudah terpenuhi secara adekuat? Apakah layanan LASS sudah digunakan secara maksimal untuk menghubungkan atau mempromosikan layanan-layanan terkait lainnya (kesehatan dasar, pemberian informasi, VCT, dan lain- lain)?
  1. Apakah semua sumberdaya yang diperlukan sudah tersedia dan mencukupi? (Apakah tenaga pelaksana sudah memperoleh pengayaan atau penguatan kapasitas yang memadai? Apakah material pencegahan termasuk KIE yang dibutuhkan sudah tersedia? Apakah aturan-aturan pendukung sudah tersedia, tersosialisasi dengan baik untuk para stakeholder?)
  2. Apakah dengan pengalaman dalam menjalankan dan mengelola LASS selama 6 tahun terakhir ini, pelaksanaan sudah berjalan seperti yang diharapkan?

Para pembaca yang budiman, sebagai penutup tulisan ini saya mnegajak kembali kepada kita semua untuk merenungkan kembali 3 pertanyaan di atas. Jika didengar sepintas, jawaban kita mungkin bisa beragam. Karena posisi dan cara pandang kita yang berbeda-beda. Tentu saja ada banyak informasi dari proses review, evaluasi, asesmen yang sudah dilakukan selama ini terkait LASS atau yang mencakupnya.

Masalahnya, bisakah kita sungguh-sungguh dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas? Karena jawaban  kita tersebut  akan menjawab pertanyaan Quo vadis, LASS Indonesia? Mau kemana program Harm Reduction Indonesia?  ***

*) Very Kamil
Pengamat Program AIDS Indonesia
Peneliti di Pusat Penelitian AIDS Atma Jaya Jakarta
Sedang mengikuti program S3 Sosiologi di Universitas Indonesia

PS. Kritik, komentar, pertanyan silahkan dilayangkan untuk tulisan ini melalui email ke: verykamil@gmail.com atau dalam ruang diskusi publik lainnya.

Blog ini hanya memuat kembali tulisan di atas yang didapat dari milis komunitas aids Indonesia. Dimuat karena ini adalah bahan diskusi dan informasi yang sangat menarik. Diskusi dan pertanyaan silahkan dialamatkan langsung ke email Pak Very Kamil. Terimakasih.

No comments: