Saya
agak terkejut walau tidak begitu kaget (lho?)
melihat salah satu berita di VoA News
tentang
kelangkaan pangan yang bisa memperparah wabah HIV dan AIDS. Menurut saya, masalah ini bukan hanya berlangsung di Afrika
atau beberapa tempat lain yang disebutkan dalam berita itu (San Fransisco dan
Amerika Utara) tetapi juga bisa ditemui di Indonesia khususnya di Papua.
Mengapa Papua? Kondisi Papua saat ini sangat memprihatinkan. Isu besar
penyebaran HIV dan AIDS sangat mencolok. Prevalensi rata-rata sebesar 2,4%, jauh
lebih tinggi dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia. Itu baru prevalensi
rata-rata. Prevalensi lebih tinggi bisa ditemukan di daerah pesisir sulit 3,2% dan
pegunungan sebesar 2,9% (Sumber: STHP Papua 2006).
HIV dan
AIDS dan gizi sangat terkait erat. Kaitannya bisa dua arah. Yaitu HIV dan AIDS
mempengaruhi status gizi seseorang menjadi buruk atau sebaliknya status gizi
seseorang yang rentan mengakibatkannya terinfeksi HIV. Gizi buruk dapat merusak
sistem kekebalan tubuh dan memberikan kontribusi pada percepatan full-blown AIDS. Di lain pihak, HIV dan AIDS
itu sendiri dapat menyebabkan kekurangan gizi. HIV melemahkan sistem kekebalan
tubuh, sehingga mengurangi kemampuan tubuh untuk melawan infeksi. Akibatnya, orang
yang HIV-positif dapat menjadi rentan terhadap periode sakit berulang yang
berkepanjangan, yang dapat mengurangi nafsu makan mereka dan mengganggu
penyerapan nutrisi. Infeksi juga meningkatkan kebutuhan tubuh akan nutrisi
penting. Banyak orang yang terinfeksi HIV tidak dapat memenuhi kebutuhan gizi tambahan
dan menjadi lemah dan kurang gizi. Di Papua khususnya di wilayah pegunungan tengah,
masalah nutrisi atau kecukupan gizi menjadi masalah penting tatkala melihat
pola makan sehari-hari mereka. Setiap hari hipere
(ubi jalar) menjadi andalan masyarakat untuk dikonsumsi sehari-hari.
Pemberian Makanan Tambahan (dok. pribadi) |
Diet
yang memadai dan seimbang merupakan komponen penting dari pelayanan dasar bagi
orang-orang yang hidup dengan HIV dan AIDS. Mengingat kurangnya fasilitas medis
dan obat-obatan untuk AIDS di sebagian besar negara-negara berkembang yang
terkena dampak apalagi di daerah seperti Papua pegunungan, sangat penting bahwa
upaya yang kuat untuk mencapai dan mempertahankan nutrisi yang baik untuk orang
yang terinfeksi HIV harus dilakukan sebagai prioritas atau langkah utama. Tingginya
prevalensi HIV di Papua ditengarai akibat kurangnya pengetahuan tentang HIV dan
AIDS yang menyebabkan tingginya perilaku seks bebas, usia yang lebih dini dalam
melakukan hubungan seks (15 tahun), serta tuntutan ekonomi yang memicu
commercial seks (seks dengan bayaran).[1]
HIV
dan AIDS serta kematian yang terkait dengannya adalah penyebab utama atau kontributor
terhadap kerawanan pangan rumah tangga. Hal ini dapat dimengerti mengingat
bahwa penyakit ini biasanya menyerang para anggota rumah tangga yang paling produktif.
Ketika para pencari nafkah menjadi sakit, rumah tangga tidak hanya harus mengelola
kurangnya tenaga kerja dan pendapatan, tetapi juga harus mengelola hilangnya tenaga
kerja yang harus merawat orang sakit tersebut. AIDS umumnya ditandai dengan
periode berulang dari penyakit yang mengakibatkan hilangnya tenaga kerja dan
pendapatan yang mengakibatkan biaya perawatan kesehatan juga meningkat.
Bakar batu, tradisi saat buka kebun (dok. pribadi) |
Di
daerah pedesaan, produksi pertanian cenderung bergantung pada tenaga kerja.
Sedangkan tenaga kerja biasanya hanya terkonsentrasi pada periode tertentu setiap
tahunnya. Contoh: di pegunungan tengah Papua, Wamena misalnya, tenaga kerja
biasanya terkonsentrasi pada musim tanam dan musim panen. Keadaan sakit atau pemakaman
selama masa tersebut mungkin berarti bahwa seluruh atau sebagian dari waktu penanaman,
musim tanam atau panen tidak berjalan sebagaimana mestinya. Kemampuan untuk berpartisipasi
dalam kegiatan masyarakat juga akhirnya sangat berkurang.
Ketika
seorang anggota rumah tangga dewasa meninggal, orang tua yang masih hidup, kakek-nenek,
kerabat dan bahkan anak-anak sendiri harus membantu memenuhi ketersediaan makanan
dalam rumah tangga, pendapatan dan perawatan untuk anak yang membutuhkan, menjadi
suatu tugas yang sering terlalu banyak bagi mereka untuk ditangani. Putus asa untuk
bertahan hidup, dapat mendorong beberapa anggota rumah tangga untuk bertukar seks
untuk uang, makanan, barang atau jasa, atau untuk meninggalkan rumah untuk
mencari pekerjaan. Hal ini menghadapkan mereka untuk risiko yang lebih besar terhadap
infeksi HIV. Kesulitan finansial ini memacu tingginya angka pekerja seks
jalanan.[2]
Saat
ini, kebanyakan yatim piatu dengan AIDS dirawat melalui jaringan keluarga. Namun
dengan meningkatnya jumlah kasus HIV dan AIDS tetap saja akan meningkatkan jumlah
anak-anak yang akan berakhir hidup di jalanan tanpa perawatan atau dukungan yang
memadai.
Seiring dengan waktu anak-anak inipun berpotensi menjadi pekerja seks jalanan
pula.
Dampak
epidemi pada individu, masyarakat atau suatu lembaga sangat terkait pada kapasitas
mereka untuk mengatasi (ability to cope).
Tahap dan pola penyebaran HIV dan AIDS di suatu negara juga penting dalam menganalisis
kemampuan untuk mengatasi ini. Pada tahap awal, misalnya, ketika prevalensi HIV
rendah, hanya sedikit dampak yang dirasakan pada rumah tangga dan masyarakat. Ketika
prevalensi HIV semakin meningkat, virus mulai menyebar ke kelompok mobile dan berisiko tinggi. Dampaknya paling
benar-benar dirasakan ketika sejumlah besar orang telah terinfeksi HIV dan kematian
karena AIDS mulai meningkat.
Kombinasi
intervensi dan bagaimana intervensi tersebut akan diimplementasikan akan berbeda
tergantung dari tahap epidemi di daerah tersebut. Respon terhadap krisis HIV
dan AIDS yang sudah ada, akan secara fundamental berbeda intervensinya dari mempersiapkan
krisis yang mungkin timbul.
Di
bawah ini adalah contoh dari beberapa intervensi yang dapat dilakukan di Papua yang
bertujuan untuk melindungi dan memperbaiki gizi dan keamanan pangan di antara rumah
tangga terdampak HIV. Daftar ini bukan daftar terlengkap tetapi hanya bertujuan
untuk memberikan gambaran metode mencoba-dan-teruji (tried
and tested) yang dapat digunakan untuk memberikan ilustrasi kepada para pemangku
kepentingan apa yang secara layak dapat dilakukan di sektor pangan dan pertanian.
Melakukan Peningkatan Kesadaran (raising awareness)
Kesadaran
perlu dibangun terutama tentang hubungan antara HIV dan AIDS, kerawanan pangan dan
kekurangan gizi di antara orang-orang yang terlibat dalam perumusan kebijakan dan
program, orang yang terlibat dalam perencanaan dan pengembangan proyek agar
mereka bisa:
- Meninjau dan memasukkan HIV dan AIDS dalam kebijakan pembangunan yang ada, baik itu di level program atau proyek;
- Meninjau dan memasukkan tujuan keamanan pangan dan gizi dalam kebijakan, program dan proyek yang berhubungan dengan HIV dan AIDS.
Perawatan Gizi bagi Orang yang Hidup dengan
HIV dan AIDS
Mengingat
dampak gizi yang baik pada kualitas hidup dan harapan pada orang yang hidup
dengan HIV dan AIDS, program yang meningkatkan akses fisik ke pangan yang
bergizi cukup hingga baik dalam kuantitas dan kualitas sangat diperlukan. Ini
termasuk program berkebun di rumah (kebun gizi) atau intervensi pertanian lainnya
yang dapat menghasilkan berbagai bahan makanan yang dibutuhkan dengan cara yang
hemat biaya.
Karena
rumah tangga sering kehabisan sumber daya produktif setelah full-blown AIDS, bank makanan lokal dan bantuan
pangan dari luar mungkin diperlukan ketika keluarga tidak bisa lagi memenuhi kebutuhan
mereka sendiri.
Perawatan
gizi/ nutrisi juga melibatkan pendidikan gizi utama dan upaya komunikasi
melalui komunitas yang ada dan organisasi perawatan berbasis rumah, atau bisa
melalui media radio khususnya pedesaan. Komunikasi dan program pendidikan dan
pelatihan berbasis komunitas perlu dikembangkan dan dipelihara.
Mata Pencaharian dan Dukungan Keamanan Pangan
untuk Rumah Tangga Terdampak HIV dan AIDS
Intervensi
(bisa digabung dengan bantuan pangan), diperlukan untuk membantu rumah tangga yang
terkena HIV dan AIDS. Intervensi ini mungkin termasuk bagaimana meningkatkan produksi
pangan pendukung dan diversifikasi pangan.
Intervensi
ini mungkin tergantung pada tipe rumah tangga: misalnya, rumah tangga dengan
yatim piatu atau tanpa kepala keluarga, perlu lebih banyak dukungan dan bantuan
langsung. Perempuan sebagai kepala keluarga sering perlu dilindungi untuk peningkatan
akses terhadap alat-alat produksi, sedangkan rumah tangga yang membina anak
yatim dapat mengambil manfaat dalam peningkatan akses ke keuangan mikro, dan
lain-lain.
Sistem Dukungan dan Kepedulian akan Mata
Pencaharian Berbasis Masyarakat
Karena
rumah tangga terdampak HIV dan AIDS sangat tergantung pada organisasi berbasis
masyarakat untuk perawatan dan dukungan, kapasitas organisasi-organisasi ini perlu
diperkuat dan didirikan (jika belum ada). Mereka perlu dipromosikan dalam masyarakat
di mana mereka belum ada. Kapasitas fisik organisasi perawatan lokal (seperti mutual-help
groups dan panti asuhan di daerah perkotaan) yang memberikan perawatan gizi dan
bantuan makanan juga perlu diperkuat.
Mengingat
tingginya pergantian relawan dalam masyarakat, program-program pelatihan yang
diadaptasi secara lokal pada perawatan gizi dan bantuan makanan untuk orang
yang hidup dengan atau terpengaruh oleh HIV dan AIDS perlu dibentuk.
Akses ke pendidikan, keterampilan hidup, dan
pelatihan kejuruan
Dalam
kenyataan sering ditemukan banyak anak yatim piatu dan anak-anak rentan tidak
dapat bersekolah, bahkan ketika ada program insentif, dan hanya sedikit yang
menerima pendidikan di luar tingkat dasar. Padahal mereka memiliki kebutuhan jangka
panjang, termasuk kebutuhan keterampilan hidup dan pendidikan kejuruan, khususnya
yang berkaitan dengan gizi, pangan dan pertanian. Oleh karena itu penting untuk
memberikan pendidikan dan pelatihan semacam itu baik melalui jalur formal dan
informal.
Saya berharap mudah-mudahan contoh intervensi tersebut dapat diterapkan di Papua khususnya di wilayah pegunungan tengah. Semoga!
No comments:
Post a Comment