-sebuah refleksi tentang berjejaring di Pegunungan Tengah Papua-
Suatu kali saya tersentak mendengar sebuak acara dialog interaktif di
sebuah stasiun radio milik pemerintah di Wamena. Kenapa tersentak? Begini
ceritanya, dalam dialog interaktif tersebut ada seorang narasumber lokal yang
menerangkan bagaimana HIV dapat menular dari satu orang ke orang yang lain,
pertama-tama saya ikuti - narasumber lokal tersebut berbicara dengan bahasa
Indonesia yang sedikit dipaksakan – semua penjelasannya masuk akal. Dari mulai
penularan melalui ibu ke bayi (walaupun tidak terlalu detail) hingga transfusi
darah. Yang membuat saya tersentak adalah pernyataan narasumber tersebut ketika
berbicara mengenai nyamuk. Dengan terang-terangan narasumber tersebut
mengatakan bahwa nyamuk juga menularkan HIV! Wow!
Sumber: Wikipedia |
Segera setelah itu terlintaslah ide dalam diri saya untuk paling tidak
menyamakan persepsi beberapa lembaga yang bekerja di bidang penanggulangan HIV
dan AIDS di Jayawijaya. Bukan berarti merasa hebat atau paling jago, tapi
paling tidak persepsi dasar yang sama harus dimiliki oleh semua lembaga yang
bergerak di bidang penaggulangan HIV dan AIDS. Saya kemudian bergerak, mencoba
menghubungi beberapa teman termasuk Komisi Penanggulangan AIDS Daerah. Ternyata
gayung bersambut! Kamipun berencana melakukan pertemuan menyamakan persepsi ini
namun dibungkus dengan tema Candlelight
Memorial pada waktu itu.
Surat-surat undangan mulai diketik, dari KPAD memberikan beberapa nama
tokoh kunci dari berbagai LSM yang ada di Jayawijaya. Tidak hanya itu, himbauan
dalam bentuk ajakan untuk berpartisipasi dalam acara Candlelight bersama juga
disiarkan di satu radio pemerintah dan satu radio swasta. Beberapa LSM
menyatakan oke untuk bergabung, LSM yang lain tidak memberi jawaban sama
sekali. Yang paling lucu, ada surat yang diantarkan ke sebuah LSM tapi ternyata
tidak ada orang sama sekali. Yang ada hanya tukang sapu. Ketika ditanyakan,
tukang sapu hanya mengernyitkan dahi dan mengangkat bahu. Hmm........................
Lepas dari kesediaan teman-teman LSM untuk menyamakan persepsi, KPAD
sebagai kordinator justru mengalami banyak masalah internal. Masalah yang
paling dasar adalah ketersediaan dana dan kesulitan dalam mengorganisir sekian
banyak lembaga dan atau institusi yang ada di Jayawijaya. Padahal jika
dilakukan pemetaan banyak sekali sumber daya yang ada di Jayawijaya ini.
Misalnya, sudah ada lembaga khusus yang melakukan pendampingan kepada ODHA. Ada
lembaga atau LSM yang khusus mengurus penyebaran informasi kepada kelompok
perilaku resiko tinggi. Ada juga LSM yang khusus bermain di media baik itu
lewat media radio maupun dalam bentuk Iklan Layanan Masyarakat (ILM) di media
cetak. Kalau kordinasinya baik tentunya baik itu penyebaran informasi,
pendampingan, dan hal-hal lain bisa dilakukan bersama-sama. Sharing resources bisa terjadi di antara
LSM. Misalnya, ketika LSM A selesai melakukan bagiannya dalam bentuk penyebaran
informasi kemudian ada yang bertanya kemana harus periksa dan siapa yang bisa
mendampingi, maka LSM A tinggal menghubungi LSM B yang punya spesialisasi di
pendampingan. Namun sayang kenyataannya tidak begitu. Masing-masing LSM
sepertinya sibuk menjaring orang-orangnya atau bahasa kerennya itu beneficiaries atau penerima manfaat.
Malah kalau mendengar cerita di Merauke ada LSM yang menolak ODHA dalam lingkup
mereka diberikan pengetahuan tentang pengembangan ekonomi oleh LSM lain. “Ngga
bisa ini ODHA kami...”. Nah lu! Untungnya
di Jayawijaya belum seperti ini (atau mungkin sudah tapi saya tidak tahu...)
Ada lagi cerita yang ironis tentang LSM di Jayawijaya. Ada LSM lokal yang
mengganti nama hanya untuk mendapatkan dana. Ini menarik karena ternyata uang
untuk program HIV & AIDS ini sangat banyak sehingga harus dibagi-bagikan ke
berbagai institusi. Bahasa kerennya bermitra. Lha mitranya ganti nama doang
kok masih dikasih dana ya? Tapi pengalaman saya bekerja dengan LSM lokal ini
ternyata baik-baik saja. Walaupun ada beberapa materi yang saya tulis dalam
bentuk power point secara terang-terangan diterjemahkan ke bahasa lokal dan
dipakai tanpa menyebutkan nara sumbernya, saya tidak pernah protes. Hanya senyum
saja dan berkata “nggak apa-apa Pak, pakai saja..” ke pimpinannya ketika
akhirnya ketahuan dan mereka datang
minta maaf.
Tibalah saatnya hari H yaitu saatnya berkumpul dan berseminar tentang
berbagai update di bidang
penanggulangan HIV & AIDS. Ketua harian KPAD sudah tiba dan duduk di barisan depan.
Hati mulai cemas karena peserta dari LSM lain belum ada yang datang. Hanya
beberapa tokoh agama yang sengaja kita undang untuk dapat sedikit pencerahan
dan bisa membagikan ke jemaatnya. Ternyata setelah satu jam menunggu, tidak
satupun dari LSM lain yang datang. Ada yang sms: “kebetulan hari ini kami rapat
bulanan...” Wah, dengan wajah sedikit dipaksakan senyum ketua harian membuka
acara pertemuan. Penyamaan persepsi tinggallah mimpi yang belum bisa
diwujud-nyatakan. Yang ada akhirnya hanya penyampaian informasi satu arah.
Tokoh agama pun manggut-manggut. Mereka ternyata sangat antusias. Sebagian
bilang: “Acara begini ini boleh...karena selama ini kami kurang pemahaman
jadi...” (logat Papua)
Rasa sedikit kesal datang juga pada diri saya, sebenarnya apa yang salah
ya? Saya pun berusaha melakukan introspeksi dengan team. Mungkin sebaiknya lain
kali jangan kita yang mengundang, karena kesannya kita menggurui LSM lain.
Begitu kata salah satu staf saya. Saya setuju dengan pendapatnya itu. Arogansi
sepertinya memang menjadi masalah di sini. Saya tiba-tiba termenung saat itu
dan mencoba flash back ketika pernah
mau mencoba membuat modul pelatihan anak-anak sekolah dan ketika ternyata sudah
ada beberapa modul dari organisasi lain termasuk UNICEF saya pun memutuskan
untuk memakai apa yang sudah ada ketimbang harus buat baru.
Memang sulit kalau arogansi dipertahankan. Bikin pertemuan untuk menyamakan
persepsi saja sulitnya minta ampun. Sampai kadang-kadang saya berpikir sendiri,
kalau memang semua LSM sibuk. Semuanya menyatakan bekerja dengan baik kenapa
ngga ada perubahan ya? Kenapa masih ada orang-orang yang salah persepsi memberikan
informasi? Tidak hanya orang awam tapi juga komentar para pejabat di lingkungan
kabupaten juga kadang mispersepsi. Apa jadinya ya ke depan nanti? Informasi
dasar saja masih sering salah persepsi, bagaimana dengan informasi mengenai
pengobatan yang jauh lebih complicated
dalam menerangkannya. Jangan-jangan jaringan yang ada selama ini hanya menjadi
jaringan orang hilang yang hanya tinggal nama saja tapi orang-orangnya tidak
ada dengan alasan sibuk sana-sini ketika dicari dan dibutuhkan.
Setiap LSM yang bergerak di bidang HIV dan AIDS setidaknya harus peduli dan
mengedepankan tujuan dan bukan organisasi. Yang harus dilakukan adalah
berjejaring dengan sesama LSM bukannya menjaring target atas nama beneficiaries. Kerendahan hati untuk
mengakui LSM lain yang memang lebih pakar di bidangnya dan mau bekerjasama
haruslah ditumbuhkan. Lagipula menurut saya lembaga donor justru akan lebih
senang kalau dengan budget yang sedikit bisa mencapai hasil yang lebih besar.
Hasil yang lebih besar bagaimana? Kalau ada keterbukaan mengenai target, kalau
semua dilakukan bersama-sama untuk mencapai target itu dan bukan dilakukan
masing-masing.
Akhirnya, sebelum saya menutup tulisan ini. Ijinkanlah saya menjelaskan
sedikit kenapa nyamuk tidak menularkan HIV. Pertama, nyamuk hanya mengisap
darah, tidak pernah mengeluarkannya. Kedua, kalau nyamuk menghisap darah
tentunya langsung masuk ke lambung nyamuk dimana suasananya adalah asam. Ingat,
HIV tidak suka berada dalam suasana asam. Virus tersebut langsung mati dengan
suasana asam atau basa yang significant.
Ketiga, kalau memang nyamuk bisa menularkan HIV tentunya populasi orang dengan
HIV akan sama jumlahnya untuk semua umur karena nyamuk menggigit semua usia toh? Dia ngga pilih-pilih menghisap darah anak-anak atau dewasa saja. Sedangkan
nyata-nyata untuk kasus infeksi HIV lebih banyak terdapat pada usia kerja atau
reproduksi aktif.
Sebenarnya ceritanya belum selesai. Ketika saya selesai menjelaskan kepada
tokoh-tokoh agama mengapa nyamuk tidak menularkan HIV, saya mengajukan satu pertanyaan
andalan kepada mereka: “Yang menggigit itu nyamuk jantan kah atau nyamuk betina?”
Anda bisa jawab?