Wednesday, October 31, 2012

Perpres Tentang Obat ARV Generik Disambut Positif

Mari kita lawan jika ada upaya melemahkan Perpres 76 / 2012 ini. ARV Generik adalah Hak Rakyat!

Perpres Tentang Obat ARV Generik Disambut Positif 

KOMPAS.com - Keputusan pemerintah Indonesia untuk menerbitkan Perpres tentang paten tujuh obat HIV dan Hepatitis B disambut positf oleh berbagai pihak. Langkah ini dinilai sebagai suatu hal yang berani dan sangat penting bagi pengendalian HIV/AIDS di Indonesia.

"Langkah yang diambil Indonesia ini merupakan sebuah manuver penting, tidak hanya berdampak penting bagi para penderita HIV di negaranya yang selama ini telah gigih berkampanye mendukung langkah tersebut, namun juga bagi negara-negara berkembang lainnya ", ungkap Direktur Advokasi Kebijakan Access Campaign MSF (Médecins Sans Frontières/Dokter Lintas Batas) Michelle Childs dalam siaran persnya kepada Kompas.com. 

"Ini merupakan sebuah lisensi dengan dampak terbesar yang pernah dikeluarkan oleh pemerintah, serta dengan jelas mencerminkan realitas jangkauan opsi-opsi pengobatan yang dibutuhkan," tambahnya.

Pada 3 September lalu, pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 76 Tahun 2012 tentang Pelaksaaan Paten oleh Pemerintah terhadap Obat Antiviral dan Antiretroviral, yang intinya mengatur tentang “hak guna pemerintah” - sejenis lisensi wajib yang membebaskan pemerintah dari pembatasan hak paten. Langkah ini ditempuh guna memproduksi tujuh jenis obat-obatan generik yang sangat penting dalam terapi HIV dan Hepatitis B.  Paten yang diambil alih ini tadinya dimiliki oleh perusahaan farmasi terkemuka seperti Merck, GSK, Bristol Myers Squibb, Abbott and Gilead. 

Obat-obatan tersebut adalah efavirenz, abacavir, tenofovir, lopinavir/ritonavir, didanosine, dan kombinasi dosis-tetap tenofovir/emtricitabine serta tenofovir/emtricitabine/efavirenz.  Selama ini obat-obatan ini didapatkan dengan cara mengimport dari luar negeri. Dengan hadirnya Perpres ini, produksi obat-obatan ini bisa dilakukan oleh perusahaan dalam negeri yang ditunjuk pemerintah dengan kewajiban pembayaran royalti sebesar 0,5% kepada perusahaan pemegang paten. Hal ini akan menjamin sekitar 310.000 orang yang hidup dengan HIV di Indonesia untuk bisa memiliki akses terhadap obat-obatan penting penyambung nyawa mereka.

Sambutan positif juga disampaikan Indonesia AIDS Coalition (IAC), sebuah LSM yang bekerja mempromosikan transparansi dan akuntabilitas pemerintah dalam program penanggulangan AIDS di Indonesia.  IAC menilai penerbitan Perpres tersebut sebagai langkah yang membanggakan dan mengundang perhatian dunia internasional.

"Kehadiran Perpes ini telah menunjukkan pemerintah kita berdiri bersama kepentingan rakyat banyak dan bukan kepentingan korporasi. Indonesia AIDS Coalition menyambut baik keluarnya Perpres 76 ini”, ujar Aditya Wardhana, Direktur Eksekutif IAC.

Hadirnya Perpres ini kata Aditya akan sangat membantu menurunkan epidemi AIDS di Indonesia. Tingkat keberhasilan terapi obat ARV pada ODHA (Orang dengan HIV dan AIDS) telah terbukti secara ilmiah mampu menurunkan tingkat penularan baru HIV sebesar 96 persen. Dengan semakin banyaknya jenis ARV, maka harapan dan keberhasilan pengobatan pada ODHA akan semakin meningkat sehingga penularan baru dapat diturunkan.

Perlu diketahui bahwa selama ini ganjalan bagi ODHA dalam memulai dan menjalankan terapi ARV adalah masih adanya ketakutan akan efek samping dari obat yang jenisnya terbatas serta keberlanjutan terapi ini. Adanya produksi dalam negeri dengan jenis yang memadai diharapkan akan memupus ketakutan-ketakutan ini.
 
“Kehadiran ARV secara berkesinambungan juga akan membantu menghilangkan stigma bahwa HIV sama dengan kematian. Ini adalah pesan positif bagi kesehatan publik. Dengan terapi ARV, ODHA bisa tetap bertahan sehat sampai berpuluh tahun. Ini merupakan kampanye bagi masyarakat untuk kemudian berani melakukan tes HIV. Lebih cepat kita tahu status HIV, semakin cepat kita bisa kendalikan epidemi AIDS ini bersama” tutup Aditya.


#ODHABerhakSehat

Salam,
Aditya Wardhana
Indonesia AIDS Coalition
Phone: +62 21 70 8888 27

Mobile: +62 858 147 147 69
Skype: awardhana
Website: www.iac.or.id / www.odhaberhaksehat.org

"Promoting transparency, accountability and civil participation on AIDS response"
 
Di posting ulang di blog ini untuk mendukung program ARV generik. Salam. (Admin)

Friday, October 19, 2012

Nutrisi Tak Cukup, Percepat Penyebaran HIV di Papua?


Saya agak terkejut walau tidak begitu kaget (lho?) melihat salah satu berita di VoA News tentang kelangkaan pangan yang bisa memperparah wabah HIV dan AIDS. Menurut saya,  masalah ini bukan hanya berlangsung di Afrika atau beberapa tempat lain yang disebutkan dalam berita itu (San Fransisco dan Amerika Utara) tetapi juga bisa ditemui di Indonesia khususnya di Papua. Mengapa Papua? Kondisi Papua saat ini sangat memprihatinkan. Isu besar penyebaran HIV dan AIDS sangat mencolok. Prevalensi rata-rata sebesar 2,4%, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia. Itu baru prevalensi rata-rata. Prevalensi lebih tinggi bisa ditemukan di daerah pesisir sulit 3,2% dan pegunungan sebesar 2,9% (Sumber: STHP Papua 2006).   

HIV dan AIDS dan gizi sangat terkait erat. Kaitannya bisa dua arah. Yaitu HIV dan AIDS mempengaruhi status gizi seseorang menjadi buruk atau sebaliknya status gizi seseorang yang rentan mengakibatkannya terinfeksi HIV. Gizi buruk dapat merusak sistem kekebalan tubuh dan memberikan kontribusi pada percepatan full-blown AIDS. Di lain pihak, HIV dan AIDS itu sendiri dapat menyebabkan kekurangan gizi. HIV melemahkan sistem kekebalan tubuh, sehingga mengurangi kemampuan tubuh untuk melawan infeksi. Akibatnya, orang yang HIV-positif dapat menjadi rentan terhadap periode sakit berulang yang berkepanjangan, yang dapat mengurangi nafsu makan mereka dan mengganggu penyerapan nutrisi. Infeksi juga meningkatkan kebutuhan tubuh akan nutrisi penting. Banyak orang yang terinfeksi HIV tidak dapat memenuhi kebutuhan gizi tambahan dan menjadi lemah dan kurang gizi. Di Papua khususnya di wilayah pegunungan tengah, masalah nutrisi atau kecukupan gizi menjadi masalah penting tatkala melihat pola makan sehari-hari mereka. Setiap hari hipere (ubi jalar) menjadi andalan masyarakat untuk dikonsumsi sehari-hari.

Pemberian Makanan Tambahan (dok. pribadi)
Diet yang memadai dan seimbang merupakan komponen penting dari pelayanan dasar bagi orang-orang yang hidup dengan HIV dan AIDS. Mengingat kurangnya fasilitas medis dan obat-obatan untuk AIDS di sebagian besar negara-negara berkembang yang terkena dampak apalagi di daerah seperti Papua pegunungan, sangat penting bahwa upaya yang kuat untuk mencapai dan mempertahankan nutrisi yang baik untuk orang yang terinfeksi HIV harus dilakukan sebagai prioritas atau langkah utama. Tingginya prevalensi HIV di Papua ditengarai akibat kurangnya pengetahuan tentang HIV dan AIDS yang menyebabkan tingginya perilaku seks bebas, usia yang lebih dini dalam melakukan hubungan seks (15 tahun), serta tuntutan ekonomi yang memicu commercial seks (seks dengan bayaran).[1]
HIV dan AIDS serta kematian yang terkait dengannya adalah penyebab utama atau kontributor terhadap kerawanan pangan rumah tangga. Hal ini dapat dimengerti mengingat bahwa penyakit ini biasanya menyerang para anggota rumah tangga yang paling produktif. Ketika para pencari nafkah menjadi sakit, rumah tangga tidak hanya harus mengelola kurangnya tenaga kerja dan pendapatan, tetapi juga harus mengelola hilangnya tenaga kerja yang harus merawat orang sakit tersebut. AIDS umumnya ditandai dengan periode berulang dari penyakit yang mengakibatkan hilangnya tenaga kerja dan pendapatan yang mengakibatkan biaya perawatan kesehatan juga meningkat.

Bakar batu, tradisi saat buka kebun (dok. pribadi)
Di daerah pedesaan, produksi pertanian cenderung bergantung pada tenaga kerja. Sedangkan tenaga kerja biasanya hanya terkonsentrasi pada periode tertentu setiap tahunnya. Contoh: di pegunungan tengah Papua, Wamena misalnya, tenaga kerja biasanya terkonsentrasi pada musim tanam dan musim panen. Keadaan sakit atau pemakaman selama masa tersebut mungkin berarti bahwa seluruh atau sebagian dari waktu penanaman, musim tanam atau panen tidak berjalan sebagaimana mestinya. Kemampuan untuk berpartisipasi dalam kegiatan masyarakat juga akhirnya sangat berkurang.
Ketika seorang anggota rumah tangga dewasa meninggal, orang tua yang masih hidup, kakek-nenek, kerabat dan bahkan anak-anak sendiri harus membantu memenuhi ketersediaan makanan dalam rumah tangga, pendapatan dan perawatan untuk anak yang membutuhkan, menjadi suatu tugas yang sering terlalu banyak bagi mereka untuk ditangani. Putus asa untuk bertahan hidup, dapat mendorong beberapa anggota rumah tangga untuk bertukar seks untuk uang, makanan, barang atau jasa, atau untuk meninggalkan rumah untuk mencari pekerjaan. Hal ini menghadapkan mereka untuk risiko yang lebih besar terhadap infeksi HIV. Kesulitan finansial ini memacu tingginya angka pekerja seks jalanan.[2]
Saat ini, kebanyakan yatim piatu dengan AIDS dirawat melalui jaringan keluarga. Namun dengan meningkatnya jumlah kasus HIV dan AIDS tetap saja akan meningkatkan jumlah anak-anak yang akan berakhir hidup di jalanan tanpa perawatan atau dukungan yang memadai. Seiring dengan waktu anak-anak inipun berpotensi menjadi pekerja seks jalanan pula.

Dampak epidemi pada individu, masyarakat atau suatu lembaga sangat terkait pada kapasitas mereka untuk mengatasi (ability to cope). Tahap dan pola penyebaran HIV dan AIDS di suatu negara juga penting dalam menganalisis kemampuan untuk mengatasi ini. Pada tahap awal, misalnya, ketika prevalensi HIV rendah, hanya sedikit dampak yang dirasakan pada rumah tangga dan masyarakat. Ketika prevalensi HIV semakin meningkat, virus mulai menyebar ke kelompok mobile dan berisiko tinggi. Dampaknya paling benar-benar dirasakan ketika sejumlah besar orang telah terinfeksi HIV dan kematian karena AIDS mulai meningkat.
Kombinasi intervensi dan bagaimana intervensi tersebut akan diimplementasikan akan berbeda tergantung dari tahap epidemi di daerah tersebut. Respon terhadap krisis HIV dan AIDS yang sudah ada, akan secara fundamental berbeda intervensinya dari mempersiapkan krisis yang mungkin timbul.
Di bawah ini adalah contoh dari beberapa intervensi yang dapat dilakukan di Papua yang bertujuan untuk melindungi dan memperbaiki gizi dan keamanan pangan di antara rumah tangga terdampak HIV. Daftar ini bukan daftar terlengkap tetapi hanya bertujuan untuk memberikan gambaran metode mencoba-dan-teruji  (tried and tested) yang dapat digunakan untuk memberikan ilustrasi kepada para pemangku kepentingan apa yang secara layak dapat dilakukan di sektor pangan dan pertanian.

Melakukan Peningkatan Kesadaran (raising awareness)
Kesadaran perlu dibangun terutama tentang hubungan antara HIV dan AIDS, kerawanan pangan dan kekurangan gizi di antara orang-orang yang terlibat dalam perumusan kebijakan dan program, orang yang terlibat dalam perencanaan dan pengembangan proyek agar mereka bisa:
  1. Meninjau dan memasukkan HIV dan AIDS dalam kebijakan pembangunan yang ada, baik itu di level program atau proyek;
  2. Meninjau dan memasukkan tujuan keamanan pangan dan gizi  dalam kebijakan, program dan proyek yang berhubungan dengan HIV dan AIDS.
Perawatan Gizi bagi Orang yang Hidup dengan HIV dan AIDS
Mengingat dampak gizi yang baik pada kualitas hidup dan harapan pada orang yang hidup dengan HIV dan AIDS, program yang meningkatkan akses fisik ke pangan yang bergizi cukup hingga baik dalam kuantitas dan kualitas sangat diperlukan. Ini termasuk program berkebun di rumah (kebun gizi) atau intervensi pertanian lainnya yang dapat menghasilkan berbagai bahan makanan yang dibutuhkan dengan cara yang hemat biaya.
Karena rumah tangga sering kehabisan sumber daya produktif setelah full-blown AIDS, bank makanan lokal dan bantuan pangan dari luar mungkin diperlukan ketika keluarga tidak bisa lagi memenuhi kebutuhan mereka sendiri.
Perawatan gizi/ nutrisi juga melibatkan pendidikan gizi utama dan upaya komunikasi melalui komunitas yang ada dan organisasi perawatan berbasis rumah, atau bisa melalui media radio khususnya pedesaan. Komunikasi dan program pendidikan dan pelatihan berbasis komunitas perlu dikembangkan dan dipelihara.

Mata Pencaharian dan Dukungan Keamanan Pangan untuk Rumah Tangga Terdampak HIV dan AIDS
Intervensi (bisa digabung dengan bantuan pangan), diperlukan untuk membantu rumah tangga yang terkena HIV dan AIDS. Intervensi ini mungkin termasuk bagaimana meningkatkan produksi pangan pendukung dan diversifikasi pangan.
Intervensi ini mungkin tergantung pada tipe rumah tangga: misalnya, rumah tangga dengan yatim piatu atau tanpa kepala keluarga, perlu lebih banyak dukungan dan bantuan langsung. Perempuan sebagai kepala keluarga sering perlu dilindungi untuk peningkatan akses terhadap alat-alat produksi, sedangkan rumah tangga yang membina anak yatim dapat mengambil manfaat dalam peningkatan akses ke keuangan mikro, dan lain-lain.

Sistem Dukungan dan Kepedulian akan Mata Pencaharian Berbasis Masyarakat
Karena rumah tangga terdampak HIV dan AIDS sangat tergantung pada organisasi berbasis masyarakat untuk perawatan dan dukungan, kapasitas organisasi-organisasi ini perlu diperkuat dan didirikan (jika belum ada). Mereka perlu dipromosikan dalam masyarakat di mana mereka belum ada. Kapasitas fisik organisasi perawatan lokal (seperti mutual-help groups dan panti asuhan di daerah perkotaan) yang memberikan perawatan gizi dan bantuan makanan juga perlu diperkuat.
Mengingat tingginya pergantian relawan dalam masyarakat, program-program pelatihan yang diadaptasi secara lokal pada perawatan gizi dan bantuan makanan untuk orang yang hidup dengan atau terpengaruh oleh HIV dan AIDS perlu dibentuk.

Akses ke pendidikan, keterampilan hidup, dan pelatihan kejuruan
Dalam kenyataan sering ditemukan banyak anak yatim piatu dan anak-anak rentan tidak dapat bersekolah, bahkan ketika ada program insentif, dan hanya sedikit yang menerima pendidikan di luar tingkat dasar. Padahal mereka memiliki kebutuhan jangka panjang, termasuk kebutuhan keterampilan hidup dan pendidikan kejuruan, khususnya yang berkaitan dengan gizi, pangan dan pertanian. Oleh karena itu penting untuk memberikan pendidikan dan pelatihan semacam itu baik melalui jalur formal dan informal.

Saya berharap mudah-mudahan contoh intervensi tersebut dapat diterapkan di Papua khususnya di wilayah pegunungan tengah. Semoga!


[1] L. Butt, G. Numbery, and J. Morin. Preventing AIDS in Papua, December 2002.
[2] ibid

Tuesday, October 2, 2012

Refleksi LASS: Perjalanan 6 tahun - by Very Kamil*


Salam!
Kawan-kawan, saya copykan tulisan yang dimuat di buletin PKNI yang terbaru.

Wassalam,
-ver
 
“ … Setelah mendengarkan uraian dari Saudara tadi, saya menyimpulkan apa yang anda lakukan adalah baik. Anda mencoba melakukan ajakan pada kebaikan. Anda menawarkan para pecandu untuk mengurangi kemudharatan, mengajak untuk menuju kesembuhan … “ komentar pak Kiyai, seorang pengasuh pesantren di Jawa Barat, setelah presentasi tentang Harm Reduction lebih kurang 6 tahun lalu. Pak Kiyai melanjutkan uraiannya tentang sebuah hadits yang intinya menyatakan bahwa keutamaan mengajak orang yang dalam jalan sesat untuk kembali pada kebaikan dan kebenaran adalah lebih besar dari pada mati syahid. Sejak itu saya menjadi semakin yakin bahwa apa yang kami lakukan adalah benar. Termasuk dalam melaksanakan program Layanan Alat dan Jarum Suntik Steril. (catatan refleksi penulis)

 Jika kita menelusuri sejarah harm Reduction di Indonesia, ada beberapa batu loncatan yang dapat digunakan sebagai ilustrasi. Ada yang menyebutkan bahwa tahun 1999 sebagai tahun awal respon  terhadap permasalahan AIDS di kalangan pengguna Napza suntik (penasun). Karena pada tahun itu dilakukan sebuah workshop nasional yang diselenggarakan kementrian kesehatan (waktu itu Departemen Kesehatan) dengan dukungan dari berbagai lembaga non pemerintah local  dan internasional. Kedua, pada tahun yang sama, sebuah NGO, Yayasan Hati-hati , memulai kegiatan pendampingan pada kelompok penasun di wilayah Pantai Kuta, Bali. Dengan bekal pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki, para petugas lapangan Yayasan Hati-hati yang hampir semuanya adalah bekas pengguna napza suntik, melakukan pendampingan termasuk membagikan alat suntik steril kepada para penasun.
Sejak tahun 2001, FHI melalui program ASA, memulai upaya pengembangan program Harm Reduction dengan dukungan konsultan berpengalaman, Prof. Wayne Wiebel. ‘Dr. Drugs” , demikian nama jalanan professor yang telah mengujicobakan model penjangkauan yang dikenal dengan ILOM, atau diterjemahkan sebagai model penjangkauan menggunakan pemimpin sesama.
Pada tahun 2002, sejumlah LSM mitra Program ASA melakukan penjangkauan dan pendampingan pada IDU. Pada tahun 2003, program dukungan AUSAID, yang kemudian menjadi  IHPCP, juga mulai giat memberikan dukungan pada upaya penanggulangan AIDS pada kelompok penasun di wilayah Indonesia Timur.
Dengan dukungan pendanaan USAID, Program ASA memberikan kontrak kepada AHRN dan CHR untuk memberikan dukungan atas upaya pengembangan program Haam Reduction di Idnonesia. Kedua lembaga ini diamanatkan untuk memberikan advokasi dalam mendapatkan dukungan dari instustuio kepolisian, institusi  dan lembaga pemasyarakatan, serta mendorong dan memberkan penguatan terhadap jaringan masyarakat sipil dalam penanggulangan AIDS pada penasun. Pada tahun 2003, Jangkar dimulai.

Dukungan Nyata
Kontroversi LASS sudah muncul sejak Harm Reduction disosialisasikan di Indonesia. Perjalanan ini ditandai dengan MoU antara KPA BNN, kertas-kertas kerja dari Kepolisian terkait penanggulangan AIDS pada pengguna Narkoba, komitmen Indonesia untuk 3 by 5 (inisiatif WHO), dan lain-lain. Pada tahun 2005, perkembangan HR di Indonesia ditandai dengan dukungan pemerintah secara formal dan sungguh-sungguh dengan diadakannya Pertemuan Nasional HR (PNHR) pertama di Jakarta. Empat buku panduan pengembangan program dan kebijakan terkait Harm Reduction diluncurkan oleh Departemen Kesehatan RI pada waktu yang bersamaan. Pada pertemuan nasional tersebut program AIDS Malysia  mengirimkan Dr. Adeeba untuk melihat dan belajar dari proses implementasi Harm reduction yang dilakukan di Indonesia.
Akhirnya berkat upaya bersama yang dilakukan berbagai pihak pada tahun-tahun  sebelumnya, para aktivis HR berhasil mendorong munculnya  kebijakan pertama pemerintah yang secara tegas menjelaskan tentang program Harm Reduction termasuk dengan Layanan Alat Suntik Steril . Hal ini secara jelas terlihat dari  Permenkes No 567/ 2006. Kebijakan ini diikuti oleh munculnya Kebijakan nasional HR yang dikeluarkan oleh Menkokesra selaku Kepala KPAN. Kebijakan nasional menekankan pentingnya menerapkan program Harm reduction secara komprehensif, termasuk LASS. Isi dari Permenkokesra seharusnya juga mengikat institusi Polri, dimana Kapolri dan Kepala BNN juga menjadi anggota KPA Nasional.
Secara jelas dan gamblang berbagai hal termasuk LASS dipaparkan pada kedua dokumen utama tersebut. Sejak itu, program LASS berkembang di berbagai tempat di kota-kota besar di Indonesia. Pada akhir tahun 2008, menurut dokumentasi Unit IDU ASA Program, terdapat lebih dari 40 LSM yang secara aktif  melakukan pendampingan pada kelompok IDU, hampir seluruhnya menyediakan Layanan penyediaan Alat Suntik Steril.
Permenkes 567 yang menjadi panduan, dan acuan dalam pengembangan SOP atau prosedur pelaksanaan LASS, menyebutkan bahwa LASS dapat dilaksanakan dengan 3 metode distribusi. Fixed Site (layanan menetap, DIC  dan PKM atau institusi kesehatan lain); Mobile (oleh petugas lapangan ) dan Satalite, oleh relawan komunitas yang telah dipercaya dan dilatih. Pesatnya perkembangan program HR tersebut menunjukkan berhasilnya komitmen pemerintah dalam langkah awal dukungan pada program Harm reduction. 
Pada kurun waktu tersebut, LASS dilaksanakan secara optimal. Prosedur pembagian jarum  diawali dengan pengenalan pada informasi dasar, pengenalan layanan yang tersedia, sampai pada penyediaan Alat suntik steril, alcohol swab, dan kondom. Material KIE pendukung juga tersedia secara meluas dan memadai. Program dukungan ASA mencatat distribusi jarum mellaui mitranya mencapai 1,3 juta jarum pada tahun 2008.
Perjalanan ini tentu saja tidak semulus ringkasan cerita di atas. Banyak kisah pahit getir terkait dengan LASS dan program HR pada umumnya sebelum mencapai tahap tersebut. Kisah PO yang ditangkap atau ditahan, kisah PO yang dicerca masyarakt atau Toma Toga bukan kisah yang asing. Alhamdulilah, pengalaman-pengalaman tersebut semakin memperkuat program yang berjalan.

Dinamika pelaksanaan LASS
Perubahan terjadi sekitar tahun 2008 akhir ketika mulai muncul pembicaraan di kalangan activis HR bahwa LASS akan dipusatkan hanya melalui PKM. Hal ini diperkuat melalui isi proposal R8 GFATM yang diajukan. Melalui program terbesar tersebut, LSM  yang menjadi mitra pelaksana program, tidak mendapakan mandat untuk menjalankan secara langsung LASS. Akibatnya pada kedua program tersebut (mitra pada Ronde 8 dan Ronde 9) tidak memiliki indikator jumlah jarum yang terdistribusi dan jumlah penerima layanan LASS.
Sayangnya perubahan strategi ini tidak terjadi secara terbuka dan didukung dengan dokumen yang jelas. Sampai akhir 2009, tidak ada satu dokumenpun yang menyatakan perubahan SOP pada LASS. Bahkan, pada SOP layanan HR pada PKM yang diterbitkan oleh Kemenkes pada tahun 2008, menggambarkan metode distribusi jarum masih tetap sama, yaitu cara, fixed site, mobile, dan satelit. Informasi dari para petugas lapangan berikut menyebutkan bagaimana perubahan terjadi. Kebijakan tersebut didasarkan pada pemikiran bahwa LASS harus memperhatikan masalah kesinambungan layanan (sustainability). Kalau di LSM tidak sustain, kalau di PKM sustain. Karena ini ‘kan layanan pemerintah. Kemudian ada yang mejelaskan pula bahwa kebijakan yang mengarahkan agar penasun mengambil jarum hanya pada PKM bisa dijakdikan sebagai indicator bahwa penasun tersebut sudah mandiri. Menjadi indikasi keberhasilan program. Seiring dengan proses amandemen UU Narkotika (yang kemduain, menjadi UU baru, bukan revisi/ amandemen), sempat keluar penjelasan bahwa pemusatan layanan pada PKM sesungguhnya dilakukan agar tidak bertentangan dengan UU Narkotika. Tentu saja semua ini hanya ucapan verbal dan tidak tertulis.
Pada tahun 2006-2007 IHPCP mulai memberikan dukungan yang lebih besar pada PKM/ penguatan institusi layanan pemerintah. Seiring dengan pengembangan layanan HR di PKM, yang sebagian juga menyediakan layanan terapi Rumatan Metadon, mulai terjadi friksi secara tidak langsung pada proses LASS. Ketika Progrm ASA sudah selesai, tdiak ada yang menyediakan suplai jarum suntiksteril bai LSM. Sementara LASS yang disediakan di PKM belum begitu optimal dalam layanannya. Masih banyak IDU yang tidak  menggunakan layanan secara masimal. Berbagai isyu muncul terkait LASS. Masalah jenis jarum yang disediakan tidak memenuhi kebutuhan penasun; sistem distribusi yang tidak standar; ada yang memberikan jarum untuk pancingan, atau pertemuan awal; tapi kemuianharus merujuk ke puskesmas. LSM pelaksana HR bekerja keras untuk membentuk mekanisme dan sistem untuk memotivasi penasun dalam  menggunakan LASS di PKM.
Dalam beberapa tahun terakhir, dari proses persiapan penyusunan proposal GF R11, pada tahun 2010, review layanan kesehatan terkait HIV dan AIDS oleh Kemenkes 2011 didukung oleh WHO, dan berbagai forum lain, temuan-temuan lapangan memperlihatkan bahwa kualitas LASS program harm reduction di Indonesia mengalami penurunan. Hal ini mengancam akan terjadinya infeksi baru dan reinfeksi di kalangan penasun. Berbagai masalah sedang melingkupi LASS. Tentang ketidakjelasan atau ketidak pastian tentang metode distribusi jarum atau alat suntik. Tentang standar layanan (apa saja material yang dibagikan, mengapa alcohol swab yang penting menjadi hilang? Bagiamna dengan material KIE, kondom, dan hal-hal lain).
Kabar bagusnya, dalam setahun terakhir HCPI (lanjutan IHPCP) telah menunjukkan kembali dukungannya pada LASS yang dialksanakan oleh LSM. Demikian juga dukungan program SUM, meskipun ada kekhawatiran bahwa kebijakan pendanaan AIDS dari USAID menyebutkan pengetatan kembali pada LASS.

Bahan Renungan
Pada bulan Juni yang lalu Persaudaraan Korban Napza Indonesia (PKNI) bekerja sama dengan Pusat Penelitian AIDS Atma Jaya Jakarta mengadakan sebuah kuliah umum  dengan topik LASS.  Dalam pertemuan tersebut saya menyimpulkan beberapa pertanyaan utama terkait LASS, yaitu:
  1. Apakah kebutuhan IDU akan jarum steril sudah terpenuhi secara adekuat? Apakah layanan LASS sudah digunakan secara maksimal untuk menghubungkan atau mempromosikan layanan-layanan terkait lainnya (kesehatan dasar, pemberian informasi, VCT, dan lain- lain)?
  1. Apakah semua sumberdaya yang diperlukan sudah tersedia dan mencukupi? (Apakah tenaga pelaksana sudah memperoleh pengayaan atau penguatan kapasitas yang memadai? Apakah material pencegahan termasuk KIE yang dibutuhkan sudah tersedia? Apakah aturan-aturan pendukung sudah tersedia, tersosialisasi dengan baik untuk para stakeholder?)
  2. Apakah dengan pengalaman dalam menjalankan dan mengelola LASS selama 6 tahun terakhir ini, pelaksanaan sudah berjalan seperti yang diharapkan?

Para pembaca yang budiman, sebagai penutup tulisan ini saya mnegajak kembali kepada kita semua untuk merenungkan kembali 3 pertanyaan di atas. Jika didengar sepintas, jawaban kita mungkin bisa beragam. Karena posisi dan cara pandang kita yang berbeda-beda. Tentu saja ada banyak informasi dari proses review, evaluasi, asesmen yang sudah dilakukan selama ini terkait LASS atau yang mencakupnya.

Masalahnya, bisakah kita sungguh-sungguh dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas? Karena jawaban  kita tersebut  akan menjawab pertanyaan Quo vadis, LASS Indonesia? Mau kemana program Harm Reduction Indonesia?  ***

*) Very Kamil
Pengamat Program AIDS Indonesia
Peneliti di Pusat Penelitian AIDS Atma Jaya Jakarta
Sedang mengikuti program S3 Sosiologi di Universitas Indonesia

PS. Kritik, komentar, pertanyan silahkan dilayangkan untuk tulisan ini melalui email ke: verykamil@gmail.com atau dalam ruang diskusi publik lainnya.

Blog ini hanya memuat kembali tulisan di atas yang didapat dari milis komunitas aids Indonesia. Dimuat karena ini adalah bahan diskusi dan informasi yang sangat menarik. Diskusi dan pertanyaan silahkan dialamatkan langsung ke email Pak Very Kamil. Terimakasih.